Wednesday, 10 October 2018

Rantau 8 : Penantian Panjang


Pertemanan selamanya

Aku mengajak Indro untuk berjala kearah pangkalan tukang ojek yang sudah standby dari tadi. Hanya ada tiga orang, satu orang kurus dan dua lainya nampak lebih sejahtera dengan postur gempalnya. Batinku, pasti saat berebut penumpang tukang ojek yang kurus ini selalu terdzholimi sehingga ia tak pernah dapat orderan lalu tak bisa beli makan siang dan akhirnya jadi kurus dan semakin kurus. Sedangkan si gemuk akan semakin gemuk setiap harinya. Kasian si kurus
J.
Setelah beberapa meter berjarak dari abang ojek, Si Indro tiba-tiba menarik lenganku dan memberi isyarat untuk mundur.  Sontak saja aku bimbang dan terkejut dengan manuver dimenit-menit akhir yang dilakukan Indro.

“ Ada apa Ndro?, bukannya kita tadi udah deal  mau naik ojek ke toko sepatu di Silaberanti?” aku kontan saja menanyainya dengan nada keheranan. (Cuplikan dari Episode Sebelumnya Rantau Episode 6 )

“ Iya , tapi apa enggak lebih baik kita konfirmasi dulu ke Mang Dilan mengenai alamat pasti dari toko sepatu tersebut. Bila perlu kita mintak no Hp tuan tokonya, siapa tau dia bisa jemput kita disini “ Indro kali ini banyak benarnya dari pada salahnya, aku mundur perlahan menjauhi mamang ojek itu dan mencari tempat yang ‘PW’ untuk menghubungi mang Dilan.

“ Ndro, ada pulsa nggak? Mau nelpon mang Dilan nih” aku berharap kali ini Indro menjawab ‘ada’ .

“ Bentar aku cek pulsa dulu ya, Bintang , Satu, Dua, Tiga , Pagar emmm bentar ya lagi proses ini” Indro dengan lugunya mempraktekan cara mengecek pulsa yang baik dan benar dihadapanku.

“ Gimana? Ada berapa?” tanyaku.

“ ada nih 2.000 Perak, cukup nggak buat nelpon?” dia bertanya padaku.

“ Cukup sih kalau kita daftarin paket nelpon Kesatria I000, bisa nelpon seribu sepuasnya seharian itu Ndro “

“ Wah, abis nelpon mang Dilan sisanya bisa kupakai buat nelpon Tutik dong “ Indro tampak senyum-senyum sendiri.

“ Ya udah mana sini, pinjem Hp mu ndro. Kita harus segera nelpon mang Dilan” aku menengadahkan tanganku dihadapanya.

“ Nih, awas jangan buka Galeri, Sama SMS ya” dia member syarat.

“ Oke, gak percayaan amat sih Ndro sama temen plek kenthel (teman akrab) juga” ku ambil Hp-nya dan aku mulai menyalin nomor Hp mang Dilan di Hp Indro.

Kulihat jam tanganku, ternyata sudah pukul dua belas siang. Sebentar lagi dzuhur tapi mang Dilan belum juga mengangkat telepon dariku. Hari ini Sabtu, 12 Agustus 1999 dua anak muda tengah terlantar menunggu kepastian tentang masa depan kerjanya.

Masak iya potongan artis gini mau jadi gelandangan kan dipalembang. Mungkin kalau dihitung sudah lebih dari seratus kali aku menelepon mang Dilan, dan selalu tidak diangkat. Sepertinya Allah tengah cemburu.

“ Ndro, kita sholat dulu yok” ajakku pada Indro.

“ Hayuklah” dia kali ini terlihat sangat bersahabat. Dari dulu sih.

Kami berjalan menyebrangi jalan, menuju masjid agung yang tentu saja tak jauh dari tempat kami berdiri sedari tadi. Tidak sampai 5 menit kami telah sampai dihalaman masjid yang sangat dibanggakan warga Palembang ini.

“ Kak titipkan disini aja Sandalnya, lebih aman” seorang berpeci hijau dengan perawakan lumayan tua menyapa kami yang belum sepenuhnya dekat dengan masjid berwarna putih ini.

“ Lan, kita mau titip saja atau simpan sendiri ini sandal?” Indro membisikiku.

“ Titip sajalah, Sepertinya lebih aman dititip Ndro, 2.000 perak mah gak  sebanding dengan resiko kalau sandal kita ilang, bisa nyeker kita” kataku berbisik juga.

“ Kamu tau kalau tarifnya 2.000 dari mana Lan?” Indro memberikan pertanyaan menggelitik padaku.
“ Itu ada tulisanya dikardus Ndro Se-Ikhlasnya, kalau dibenak aku sih, sekiataran 1.000 sampai 5.000 Ndro. Nah buat musafir kaya kita mah 2.000 aja cukup kayanya ya heheheh” candaku yang disambut dengan tawa renyah dari sahabatku ini.

Selesai sholat, kami berdua menepi diteras masjid sembari meluruskan kaki yang sejak pagi tadi seperti kerja rodi saja. Indro nampak memesan segelas teh hangat pada bapak pemilik kios kecil disamping masjid agung ini.

“ Lan, coba ditelponin lagi temennya mang Dilan itu geh “ Indro membuka percakapan sehabis dzuhur ini.

“ iya ini aku lagi mintak nomor hape-nya sama mang Dilan “ jawabku sembari kuteruskan mengetik sms untuk mang Dilan.

Sembari menyeruput teh panas yang kebetulan dipesankan Indro tadi ditemani beberapa potong pempek dan gorengan untuk mengganjal perut kami yang lapar aku terus saja menunggui handphone ku ini berbunyi.

Nada yang kami tunggu berkumandang jua. Satu pesan diterima, begitu tulisan yang tertera dilayar depan hp nokia jadulku. Bergegas aku membukanya tanpa ku beritahu ke Indro karena kulihat Indro tengah sibuk mengetik-ngetik keypad handphonenya juga.

Perlahan kubuka, dan Alhamdulillah sesuei ekspektasi mang Dilan yang mengirim pesan itu. Di kirimnya nomor temannya yang bos toko sepatu itu. Namanya pak Roy, ku simpan nomor itu lekat-lekat di daftar kontak handphone ku.

Tanpa ba-bi-bu lagi langsung ku sms nomor tersebut :

 Assalamualaikum wrr.wb
Selamat siang pak Roy. Ini saya Alan keponakannya Bapak Dilan santoso yang
Ingin bekerja di toko sepatu bapak.
Kami sekarang sudah di Palembang pak, tepatnya di Masjid Agung Palembang.
Jadi kami langsung ke tempat bapak saja atau gimana pak? Boleh mintak alamat toko sepatu/rumah bapak?

Setelah ku kirimkan pesan itu, aku harus menanggung beratnya berharap cemas dalam kondisi seperti ini. Sudah hampir 6 jam kami berdua berada dalam kondisi tanpa kepastian, Sms barusan yang ku kirimkan adalah harapan terakhirku.

Sejenak kurebahkan tubuh kerempeng ini, rasanya lelah sekali. Tak ada yang melebih menjenuhkan selain perkara menunggu. Indro tiba-tiba saja menanyaiku berkenaan dengan kejelasan keberadaan kami. Aku hanya jelasakn sekenanya saja. Kini kami berdua sama – sama menunggu sms balasan itu datang.

Tiba – tiba saja adzan berkumandang , duh ternyata kami tanpa disengaja tertidur cukup lama di sini. Bergegas kami menuju tempat wudhu yang ada disisi kiri bangunan masjid legendaries ini. Tapi nanti dulu, em..aku buru-buru merogoh kantong celana ku dan memeriksa kotak masuk di Hp-ku. Tak bukan dan tak lain aku amat berharap pak Roy akan mengirimkan alamt kerja kami. Ternyata pengharapan dan doa kami belum juga berbuah manis, tidak ada kotak masuk dari pak Roy,

“ Ndro, ada pulsa nggak?” ku bangunkan Indro sembari ku goyang-goyangkan bahu kanannya. Dia nampak cukup pulas menikmati keletihan-keletihan ini.

“ Buat apa lan”? dia mulai terbangun dan mengusap-usap wajahnya yang nampak kusam sepperti wajahku. Kami memang belum mandi hari ini.

“ Mau nelpon pak Roy ndro, temennya mang Dilan “

“ Udah dapat nomornya?”

“ Udah, di sms gak dibales dari tadi, jadi kayaknya lebih baik langsung telpon aja kali ya “

“ Ya udah sini mana nomornya “ Indro nampak bersemangat untuk menelpon pak Roy.

***
Sudah 17 kali aku menelpon pak Roy dari Hp Indro, belum diangkat juga. Aku mulai putus asa, tapi terus saja ku telpon tak peduli seberapa banyak lagi jumlah ‘ocehan’ mbak-mbak operator yang harus kudengar.

Indro baru saja selesai mandi di Kamar mandi umum masjid ini, dia memang kusuruh mandi duluan. Berharap selama proses Indro mandi pak Roy akan mengangkat telponku.

“ Ndro, gentian ya aku sekarang yang mandi, kamu jaga barang-barang kita” aku mulai berfikir mungkin Indro lebih membawa hoki dalam hal menelpon seseorang.

“ Ya udah mandi sana “ ujarnya singkat sembari menyisir rambut dengan jari jemarinya.

“ Kamu gentian yang nelpon pak Roy ya, dari tadi aku nelpon udah puluhan kali gak diangkat-angkat Ndro. Siapa tau pas kamu yang nelpon diangkat.

“ Iya deh “ Indro mengambil handphone dari tanganku dan aku mengambil Handuk dari pundaknya.

Aku berlalu dari hadapanya membawa semua kelelahan fisik dan batin ini. Aku masih belum bisa memprediksi apa yang akan terjadi jika saja malam ini nasib kami belum ada kejelasan. Masak iya kami akan jadi gelandangan baru di kota Palembang ini, hii bergidik aku membayangkanya.
Hufhhhhhhhh segar sekali rasanya air disini atau hanya perasaan ku saja yang terlalu gersang. aku benar-benar menikmati mandi kali ini melebihi biasanya. Tidak mandi sejak kemarin siang dengan kondisi tidur di atap kapal gethek yang kotor seperti itu tentu meninggalkan dedebuan yang sialan. Semoga saja ada kabar baik selepas mandi yang menyegarkan ini.

Bersambung...


Baca serial rantau gak asik kalau nggak dari Sekuel pertama, silahkan baca sekuel pertama klik link dibawah ini.
Rantau (sekuel I) : Aku harus pergi
Share:

0 komentar:

Post a Comment