Dari Sekuel sebelumnya...
Ternyata selepas makan malam dan ngobrol sambil tiduran kami ketiduran. Aku terbangun jam 02.00 wib dini hari karena dingin sekali rasanya. Beruntung kami tidak tercebur dilaut lepas ini, karena atap kapal ini tidak memiliki pengaman sama sekali disekelilingnya.
Kami melanjutkan tidur didalam meskipun harus berdesak-desakan dengan barang muatan dan tentu aroma kelapa kopra yang sangat apek sekali. Duh,,rasanya kalau bukan karena ingin merubah nasib dan semangat juang untuk membahagiakan ibuk aku tentu sudah mundur dari petualangan ini.
***
Sekuel ke (7)
" Rantau : Dunia Baru (7) "
Source : kekunoan.com |
“ Bangun, Bangun le udah sampai ini”
seorang bapak tua bersama anak laki-lakinya tampak membangunkanku.
“Hoaam.. sudah sampai mana ini pak?”
aku paksakan diri untuk duduk dan bertanya pada si bapak sambil berusaha untuk
membuka mata yang masih enggan untuk terbuka ini.
“ Itu jembatan Ampera-nya sudah
kelihatan, kita bentar lagi sampai” Bapak itu tampak menunjuk sebuah jembatan legendaries
kebanggaan masyarakat Sumatera Selatan melalui jendela kapal ini.
“ Wah iya, udah sampai ya pak. Emang ini
sudah jam berapa pak kok cepet banget sampainya?” aku bertanya dengan penuh
rasa penasaran karena suasana ditengah sungai ini masih cukup gelap pertanda
hari masih malam.
“ Ini sudah hampir jam 5 le,
langitnya aja mendung jadi kayak masih malam terus” bapak itu menjelaskan
sembari sesekali melihat Indro yang masih belum bangun juga.
“ Waduh, kami belum sholat subuh ini
pak,tak bangunin temenku dulu kalau gitu “ aku bergegas membangunkan Indro dan
mengajaknya Sholat subuh.
Jaket andalan masih melekat ditubuhku
dilapisi sarung kotak-kotak dengan merk gajah duduk. Aku lupa sebenarnya ini
sarung punyaku atau punya bapakku karena kalau dirumah kami sering saling pakai
aja kalau sarung. Dulu bapakku rajin
sholat, jadi sarungnya banyak. Sekarang bapakku rajin sholat juga, tapi cumin sholat
idul fitri saja setahun sekali, jadi sarungnya banyak gak dipakai, yowes aku saja yang makai. Duh bahas sarung aja
sampai se-paragraf gini ya.
Karena didalam pengap, aku dan Indro
berinisiatif naik keatap kapal lagi, berharap bisa melihar sun rise sembari menghiru
udara segara laut lepas. Setibanya diatas atap ternyata si bapak dan anaknya
sudah ada diatas juga, mereka tampak romantic mengobrol berdua layaknya bapak
dan anak. Beruntung sekali bisa se-romantis itu. Aku jadi inget bapak, sosok
yang sebenarnya sangat hangat dan luar biasa dimata anak-anaknya. Ia yang
selalu rajin mengantarku pulang pergi sekolah bahkan mengantar jemput aku
ketika ikut latihan pencak silat malam-malam.
Sayang sekali,hanya karena nila
setitik rusaklah susu sebelangan. Hanya karena kesalahan bapak yang tak mampu
bertahan dari godaan lingkungan ia terjerumus, dan aku menjadi kurang respect dengan bapak sampai hari ini. Sakitnya
tuh disini ketika tau kalau orang yang kita hormati dan banggakan itu melakukan
sesuatu yang unmoral dan membohongi
keluarga. Untunglah malam itu aku masih bisa mengontrol semua emosiku sehingga
aku tak membertahu ibu dan adikku tentang apa yang sebenarnya terjadi dengan
bapak. Aku tak mau mereka membenci bapak.
“ Lan, kok ngelamun aja sih” Indro
tiba-tiba membuyarkan lamunanku.
“ Eh, anu, enggak papa kok ndro. Biasa
pagi-pagi masih ngantuk jadi seolah-olah kayak ngelamun” aku menjawab sekenanya
saja.
“ Alah ngeles aja loh jadi orang,
kalau ada apa –apa cerita lan” Indro
menambahkan.
“ Nggak ada kok, aku kepikiran aja
tempat kerja kita nanti nyaman gak ya” aku sekali lagi berbohong.
“ Insya Allah lah nyaman, kita
percaya saja sama temennya mang Dilan yang sudah ngasih kerjaan ini” Indro
nampak begitu optimis dan mampu menularkan semangat optimistisnya padaku.
***
Pukul 05.45 Wib kapal bersandar
dipelabuhan. Setelah membayar Rp.30.000 untuk masing-masing orang kami pun
beranjak keluar dari kapal. Pasar ikan dan se-abrek pedagang yang tengah
mempersiapkan daganganya untuk menyambut pembeli telah berjejer. Kami kebingungan
mencari arah.
Sebagai pendatang dan perantau
amatiran bertanyapun kami malu, jadi ya jalan aja terus , maju terus sampai
kaki ini lelah. Begitu Indro dan aku memulai petualangan pagi ini.
“ Lan, laper nggak?” Indro tiba-tiba
berhenti dan menanyakan pertanyaan yang arahnya sudah kutebak.
“ laper dong” aku menjawab sembari
berhenti juga.
“ Sarapan dong” Indro nampak
ngos-ngosan dengan posisi masih menggendong tas ranselnya yang cukup besar.
“ Ayok dong, itu maju dikit lagi ada
penjual nasi uduk dong kita kesana yuk dong” aku maju tanpa menunggu jawaban
Indro.
“ Hei tunggu dong, jangan
ngebut-ngebut jalannya dong” Indro masih saja nyerocos dengan imbuhan’dong’. Sebuah
imbuhan kalimat asal-asalan yang sering kami tambahkan kalau lagi ngobrol nggak
jelas.
Setelah berjalan beberapa meter, kami
sampai juga dilapak sederhana penjual nasi uduk disekitaran pasar ikan ini. Pasar
ikan ini masih tersambung dengan pasar utama I6 Ilir yang sangat kumuh. Bahkan karena
keberadaan pasar ini, keindahan jembatan ampere sangat terganggu. Sudah berganti
gubernur beberapa kali dengan janji akan membersihkan pedagan liar yang
berjualan diampera, nyatanya pasar kolong ampere masih eksis juga sampai hari
ini.
Dari tampilanya, ibu penjual nasi
uduk ini sepertinya pedagan lama disini. Bermodalkan satu bangku kayu yang
hanya muat diduduki 3 orang saja ditambah satu meja yang ditutup dengan taplak Koran
seadanya, ia begitu luwes menyajikan dua piring nasi uduk dan dua gelas the hangat
yang kami pesan.
“ Buk, kalau mau ke Silaberanti itu
arahnya kemana ya?” aku mengambil kesempatan sarapan ini untuk bertanya pada
ibuk penjual nasi uduk ini.
“ Oh itu arah Jakabaring dek” dia
menjawab singkat sembari terus melayani pedagang yang lain.
“ Jakabaring itu dimana buk?” Indro
bertanya dengan wajah polos.
“ Itu di Ulu dek, arah stadion bola
itu nah” Ibu itu menjawab rasa penasaran Indro.
“ Kesana naik mobil apa ya buk ?” aku
mencoba mengerucutkan arah pertanyaan kami berdua pada ibu itu.
“ Naik angkot arah jakabaring bae,
atau naik ojek mintak anteri ke silaberanti “ imbuhnya dengan sabar.
“ Oh, iya buk, makasih buk ya” aku
menutup sesi wawancara pagi ini.
Setelah membayar paket sarapan hemat
kami berdua seharga 4.500 perak , kami beranjak pergi dari lapak sarapan ibu
itu. Kami menelusuri lorong becek nan kumuh yang dipadati pedagang-pedagan
bermata sipit disana-sini. Aku heran, kenapa hampir semua kios besar dipasar
ini banyak dimiliki oleh orang-orang bukan suku pribumi ya, hanya beberapa
sajayang mempunya toko diruko-ruko besar
dipasar ini. Selebihnya ya seperti ibu penjual nasi uduk tadi, hanya
penghias emperan dan penjual asongan.
Kekanan , kekiri, lalu kekiri lagi. Akhirnya
sampailah kami didepan gang pasar ikan ini. Bau khas amis yang dari tadi sangat
menyengat mulai agak berkurang kadarnya. Kami berdua bisa melihat banyak
pembeli mulai ramai berdatangan kepasar ini seiring dengan meningginya sinar
mentari.
Aku mengajak Indro untuk berjala
kearah pangkalan tukang ojek yang sudah standby
dari tadi. Hanya ada tiga orang, satu orang kurus dan dua lainya nampak lebih
sejahtera dengan postur gempalnya. Batinku, pasti saat berebut penumpang tukang
ojek yang kurus ini selalu terdzholimi sehingga ia tak pernah dapat orderan lalu tak bisa beli makan siang
dan akhirnya jadi kurus dan semakin kurus. Sedangkan si gemuk akan semakin
gemuk setiap harinya. Kasian si kurus J.
Setelah beberapa meter berjarak dari
abang ojek, Si Indro tiba-tiba menarik lenganku dan memberi isyarat untuk
mundur. Sontak saja aku bimbang dan
terkejut dengan manuver dimenit-menit
akhir yang dilakukan Indro.
“ Ada apa Ndro?, bukannya kita tadi
udah deal mau naik ojek ke toko sepatu di Silaberanti?”
aku kontan saja menanyainya dengan nada keheranan.
Baca serial rantau gak asik kalau nggak dari Sekuel pertama, silahkan baca sekuel pertama klik link dibawah ini.
Rantau (sekuel I) : Aku harus pergi
Rantau (sekuel I) : Aku harus pergi
0 komentar:
Post a Comment