Wednesday, 27 June 2018

Rantau : Dunia Baru (7)


Dari Sekuel sebelumnya...

Ternyata selepas makan malam dan ngobrol sambil tiduran kami ketiduran. Aku terbangun jam 02.00 wib dini hari karena dingin sekali rasanya. Beruntung kami tidak tercebur dilaut lepas ini, karena atap kapal ini tidak memiliki pengaman sama sekali disekelilingnya.

Kami melanjutkan tidur didalam meskipun harus berdesak-desakan dengan barang muatan dan tentu aroma kelapa kopra yang sangat apek  sekali. Duh,,rasanya kalau bukan karena ingin merubah nasib dan semangat juang untuk membahagiakan ibuk aku tentu sudah mundur dari petualangan ini.



***

Sekuel ke (7)

Rantau : Dunia Baru (7) "

Gambar terkait
Source : kekunoan.com

“ Bangun, Bangun le udah sampai ini” seorang bapak tua bersama anak laki-lakinya tampak membangunkanku.

“Hoaam.. sudah sampai mana ini pak?” aku paksakan diri untuk duduk dan bertanya pada si bapak sambil berusaha untuk membuka mata yang masih enggan untuk terbuka ini.

“ Itu jembatan Ampera-nya sudah kelihatan, kita bentar lagi sampai” Bapak itu tampak menunjuk sebuah jembatan legendaries kebanggaan masyarakat Sumatera Selatan melalui jendela kapal ini.

“ Wah iya, udah sampai ya pak. Emang ini sudah jam berapa pak kok cepet banget sampainya?” aku bertanya dengan penuh rasa penasaran karena suasana ditengah sungai ini masih cukup gelap pertanda hari masih malam.

“ Ini sudah hampir jam 5 le, langitnya aja mendung jadi kayak masih malam terus” bapak itu menjelaskan sembari sesekali melihat Indro yang masih belum bangun juga.

“ Waduh, kami belum sholat subuh ini pak,tak bangunin temenku dulu kalau gitu “ aku bergegas membangunkan Indro dan mengajaknya Sholat subuh.

Jaket andalan masih melekat ditubuhku dilapisi sarung kotak-kotak dengan merk gajah duduk. Aku lupa sebenarnya ini sarung punyaku atau punya bapakku karena kalau dirumah kami sering saling pakai aja kalau sarung.  Dulu bapakku rajin sholat, jadi sarungnya banyak. Sekarang bapakku rajin sholat juga, tapi cumin sholat idul fitri saja setahun sekali, jadi sarungnya banyak gak dipakai, yowes aku saja yang makai. Duh bahas sarung aja sampai se-paragraf gini ya.


Karena didalam pengap, aku dan Indro berinisiatif naik keatap kapal lagi, berharap bisa melihar sun rise  sembari menghiru udara segara laut lepas. Setibanya diatas atap ternyata si bapak dan anaknya sudah ada diatas juga, mereka tampak romantic mengobrol berdua layaknya bapak dan anak. Beruntung sekali bisa se-romantis itu. Aku jadi inget bapak, sosok yang sebenarnya sangat hangat dan luar biasa dimata anak-anaknya. Ia yang selalu rajin mengantarku pulang pergi sekolah bahkan mengantar jemput aku ketika ikut latihan pencak silat malam-malam.

Sayang sekali,hanya karena nila setitik rusaklah susu sebelangan. Hanya karena kesalahan bapak yang tak mampu bertahan dari godaan lingkungan ia terjerumus, dan aku menjadi kurang respect dengan bapak sampai hari ini. Sakitnya tuh disini ketika tau kalau orang yang kita hormati dan banggakan itu melakukan sesuatu yang unmoral dan membohongi keluarga. Untunglah malam itu aku masih bisa mengontrol semua emosiku sehingga aku tak membertahu ibu dan adikku tentang apa yang sebenarnya terjadi dengan bapak. Aku tak mau mereka membenci bapak.

“ Lan, kok ngelamun aja sih” Indro tiba-tiba membuyarkan lamunanku.

“ Eh, anu, enggak papa kok ndro. Biasa pagi-pagi masih ngantuk jadi seolah-olah kayak ngelamun” aku menjawab sekenanya saja.

“ Alah ngeles aja loh jadi orang, kalau ada apa –apa cerita lan”  Indro menambahkan.

“ Nggak ada kok, aku kepikiran aja tempat kerja kita nanti nyaman gak ya” aku sekali lagi berbohong.

“ Insya Allah lah nyaman, kita percaya saja sama temennya mang Dilan yang sudah ngasih kerjaan ini” Indro nampak begitu optimis dan mampu menularkan semangat optimistisnya padaku.
                                                                           

***


Pukul 05.45 Wib kapal bersandar dipelabuhan. Setelah membayar Rp.30.000 untuk masing-masing orang kami pun beranjak keluar dari kapal. Pasar ikan dan se-abrek pedagang yang tengah mempersiapkan daganganya untuk menyambut pembeli telah berjejer. Kami kebingungan mencari arah.

Sebagai pendatang dan perantau amatiran bertanyapun kami malu, jadi ya jalan aja terus , maju terus sampai kaki ini lelah. Begitu Indro dan aku memulai petualangan pagi ini.

“ Lan, laper nggak?” Indro tiba-tiba berhenti dan menanyakan pertanyaan yang arahnya sudah kutebak.

“ laper dong” aku menjawab sembari berhenti juga.

“ Sarapan dong” Indro nampak ngos-ngosan dengan posisi masih menggendong tas ranselnya yang cukup besar.

“ Ayok dong, itu maju dikit lagi ada penjual nasi uduk dong kita kesana yuk dong” aku maju tanpa menunggu jawaban Indro.

“ Hei tunggu dong, jangan ngebut-ngebut jalannya dong” Indro masih saja nyerocos dengan imbuhan’dong’. Sebuah imbuhan kalimat asal-asalan yang sering kami tambahkan kalau lagi ngobrol nggak jelas.

Setelah berjalan beberapa meter, kami sampai juga dilapak sederhana penjual nasi uduk disekitaran pasar ikan ini. Pasar ikan ini masih tersambung dengan pasar utama I6 Ilir yang sangat kumuh. Bahkan karena keberadaan pasar ini, keindahan jembatan ampere sangat terganggu. Sudah berganti gubernur beberapa kali dengan janji akan membersihkan pedagan liar yang berjualan diampera, nyatanya pasar kolong ampere masih eksis juga sampai hari ini.

Dari tampilanya, ibu penjual nasi uduk ini sepertinya pedagan lama disini. Bermodalkan satu bangku kayu yang hanya muat diduduki 3 orang saja ditambah satu meja yang ditutup dengan taplak Koran seadanya, ia begitu luwes menyajikan dua piring nasi uduk dan dua gelas the hangat yang  kami pesan.

“ Buk, kalau mau ke Silaberanti itu arahnya kemana ya?” aku mengambil kesempatan sarapan ini untuk bertanya pada ibuk penjual nasi uduk ini.

“ Oh itu arah Jakabaring dek” dia menjawab singkat sembari terus melayani pedagang yang lain.

“ Jakabaring itu dimana buk?” Indro bertanya dengan wajah polos.

“ Itu di Ulu dek, arah stadion bola itu nah” Ibu itu menjawab rasa penasaran Indro.

“ Kesana naik mobil apa ya buk ?” aku mencoba mengerucutkan arah pertanyaan kami berdua pada ibu itu.

“ Naik angkot arah jakabaring bae, atau naik ojek mintak anteri ke silaberanti “ imbuhnya dengan sabar.

“ Oh, iya buk, makasih buk ya” aku menutup sesi wawancara pagi ini.

Setelah membayar paket sarapan hemat kami berdua seharga 4.500 perak , kami beranjak pergi dari lapak sarapan ibu itu. Kami menelusuri lorong becek nan kumuh yang dipadati pedagang-pedagan bermata sipit disana-sini. Aku heran, kenapa hampir semua kios besar dipasar ini banyak dimiliki oleh orang-orang bukan suku pribumi ya, hanya beberapa sajayang mempunya toko diruko-ruko besar  dipasar ini. Selebihnya ya seperti ibu penjual nasi uduk tadi, hanya penghias emperan dan penjual asongan.

Kekanan , kekiri, lalu kekiri lagi. Akhirnya sampailah kami didepan gang pasar ikan ini. Bau khas amis yang dari tadi sangat menyengat mulai agak berkurang kadarnya. Kami berdua bisa melihat banyak pembeli mulai ramai berdatangan kepasar ini seiring dengan meningginya sinar mentari.

Aku mengajak Indro untuk berjala kearah pangkalan tukang ojek yang sudah standby dari tadi. Hanya ada tiga orang, satu orang kurus dan dua lainya nampak lebih sejahtera dengan postur gempalnya. Batinku, pasti saat berebut penumpang tukang ojek yang kurus ini selalu terdzholimi sehingga ia tak pernah dapat orderan lalu tak bisa beli makan siang dan akhirnya jadi kurus dan semakin kurus. Sedangkan si gemuk akan semakin gemuk setiap harinya. Kasian si kurus J.

Setelah beberapa meter berjarak dari abang ojek, Si Indro tiba-tiba menarik lenganku dan memberi isyarat untuk mundur.  Sontak saja aku bimbang dan terkejut dengan manuver dimenit-menit akhir yang dilakukan Indro.

“ Ada apa Ndro?, bukannya kita tadi udah deal  mau naik ojek ke toko sepatu di Silaberanti?” aku kontan saja menanyainya dengan nada keheranan.


Bersambung.........


Baca serial rantau gak asik kalau nggak dari Sekuel pertama, silahkan baca sekuel pertama klik link dibawah ini.
Rantau (sekuel I) : Aku harus pergi
Share:

0 komentar:

Post a Comment