Kadang pergi adalah pilihan terbaik, saat bertahan membuatmu sakit (Bayu.A) |
Sore
itu hujan masih saja dengan manjannya turun kedemal-kedemil. Aku memutuskan untuk
segara meninggalkan rumah ini. Ku cari dimana ibuku. Aku yakin dia sudah tahu
bahwa aku akan pergi sejak semalam. Karena semua baju sudah ku packing setelah keributan antara aku dan bapak
semalam.
Ya
setelah keributan semalam aku merasa muak berada dirumah ini, bertemu dengan
seorang kepala keluarga yang dengan sengaja menjerat anak-anaknya kedalam
kubangan kesengsaraan demi obat-obatan terlarang itu. Keluarga ini berada pada
kurva ekonomi terburuknya pasca semua kendaraan dan rumah kami terjual, semua
karenanya dan karena obatt-obat itu.
Hari
sudah semakin sore aku harus bergegas mencari ibu. Ya karena teman yang akan
merantau bersamaku sudah menungguku sejak pukul 15.00 tadi. Aku yakin dia mulai
jengah dan bosan sekarang. Untung saja tadi sempat hujan sebentar sehingga aku
punya cukup alasan untuk terlambat datang.
~°~
Hujan telah reda beberapa detik yang lalu, Indro
sahabtku sudah berada didepan pintu rumahku menanti sedari tadi dengan jas
hujannya yang mulai mongering tertitup angin.
“ Maaf ya ndro aku lelet banget” sapaku sekenanya
sembari menahan BT yang parah abis.
“ Iya , udah biasa bro , kamu kan emang lelet
dari dulu apalagi kalau lagi mandi” jawabnya seperti sudah memahamiku.
“ Bentar ya, bentar lagi ini lagi kukemasi
beberapa barang terakhir” pintaku padanya.
“ Iya, santai aja bro” timpalnya sembari bermain
Hp.
Kulihat ibu ku hanya termangu saja. Aku bisa
membaca ketidakrelaanya melepasku pergi. Yah meskipun semasa kecil aku sudah
sering berpisah dengannya karena harus bersekolah jauh dari rumah, tapi
perpisahan kali ini berbeda.
Ada banyak pesan yang tak mampu ia sampaikan
padaku, aku mampu menbaca sebahagianya saja. Selebihnya aku hanya berharap dia
tabah menjalani hari-hari tanpaku yang membuat rumah tua ini tentu semakin
layu.
Kulihat ia didapur membungkusi beberapa bekal
nasi untuk makan ku dijalan nanti. Hufh ,, kalau bukan karena bapak nggak
mungkin ibu semenderita ini. Harus hidup seadanya dengan tekanan sosial dari
lingkungan yang begitu kuat karena para tetangga yang sudah mem-blacklist bapakku. Dahi –nya sudah
tercoreng dan masyarakat disini sudah hampir tak ada lagi yang percaya
padannya.
Puji Syukur Allah berikan aku ibu setegar dan
sesabar dia. Dimataku tak ada wanita yang lebih sabar selain beliau. Entahlah ,
aku harus berkata bagaimana lagi untuk menjelaskan betapa tidak beruntungnya
nasib ibu harus menjalani kehidupan yang seperti ini.
“ ini ibu bungkus dua, nanti dimakan ya sama
temenmu si Indro itu. Jangan nggak dimakan “ kata ibu sembari memasukan dua
bungkus nasi kedalam plastic hitam.
“ Iya bu, pasti aku habiskan. Aku akan rindu
masakan ibu beberapa hari kedepan “
jawabku sembari memalingkan muka karena tak tahan membendung air mata
ini menetes.
~°~
Tadi Malam ( dua belas jam yang lalu)
Malam ini aku harus berbicara pada bapak. Kata –
kata ini ku ulang ulang beberapa kali sejak selepas sholat ahsar tadi. Darahku sudah
sampai di ubun-ubun dan aku tak sanggup lagi menahan semua amarah ini. Meski ini
pada bapakku sendiri.
Bersambung...................
0 komentar:
Post a Comment