Oleh : Bayu
Apriliawan
“
Bertulanglah sejauh mata memandang,
Mengayuhlah
sejauh lautan terbentang, Bergurulah sejauh alam terkembang “
( Ahma fuadi , Penulis Novel Negeri Lima Menara )
Hidup aadalah petualangan baik keseluruhan
maupun sebagianya. Orang bijak selalu menyampaikan bahwa dunia ini hanya sebuah
persinggahan dari runtutan perjalanan panjang yang harus dilalui.
Sehingga menjadi baik apabila potongan
puzzle-puzzle kehidupan yang pernah terjadi pada diri kita pun kita analogikan
sebagai sebuah perjalanan, sebuah petualangan. Petualangan Sembilan bulan diruang
kasih ibu, petualangan masa balita paling indah bersama madrasah pertama dalam
hidup, sampai lembaran kisah-kisah berseragam sekolah yang telah banyak
menjadikan kita sebagai individu seperti saat ini.
Manusia
dilahirkan dengan jiwa dan watak yang hampir sama, yaitu suci dan bersih.
Pendidikan dan
lingkungan yang membuat manusia berbeda
Helvatus
Pendidikan
dan lingkungan merupaka dua hal yang dianggap menjadi faktor utama pembentuk
karakter seseorang. Pendidikan yang sudah didapatkan sejak balita dilingkungan
keluarga kemudian menjadi fondasi awal tentang penentuan jangka panjang
karakter seperti apa yang akan dibentuk pada si anak yang ada dikeluarga
tersebut.
Menyongsong
semua aspek pendidikan itu, lingkungan selalu membersamai sebagai variable terdekat
yang mau tidak mau kita akan mengenal sebuah istilah yang disebut dengan
pendidikan lingkungan.
Grand
design seorang individu seyogyanya tidak bisa terlepas dari yang namanya
pengaruh kuat lingkungan. Kisah seorang anak yang dibuang dihutan lalu ketika
dewasa ia memiliki seluruh kemampuan alam seperti teman-teman hewannya dihutan
tersebut. Kemampuan komunikasi, makan, berburu, memanjat pohon dan lain
sebagainya. Kita mengenal kisah bocah itu dengan sebutan tarzan.
Dari
semua penjabaran tersebut, dapatlah kita tarik sebuah benang merah pembentuk
karakter seseorang adalah tentang semua perjalanan yang pernah ia lalui,
pendidikan, lingkungan, media, teman, dan semua itu kita ringkas kedalam sebuah
kata, perjalanan hidup-masa lalu.
Kampus dan Petualangnnya
Kampus
merupakan sebuah medan perjalanan sekaligus wahana belajar bagi seorang
mahasiswa. Aspek aspek tertentu yang dimiliki dunia kampus membuatnya menjadi
sebuah medan yang berbeda dengan tiga tingkat pendidikan sebelumnya yaitu
Sekolah Dasar, menengah pertama dan menengah atas.
Rentan
waktu yang lebih lama dan tidak terprediksi, kebebasan yang lebih bebas dari
masa-masa sebelumnya serta tanggung jawab yang tentu juga lebih besar jika
dibandingkan dengan masa sebelumnya.
Pendek
kata, kampus menjanjikan semua tantangan yang tidak didapatkan oleh seorang
siswa berseragam putih-abu abu, putih-biru apalagi putih merah. Semua tantangan
itu pada akhirnya menuntut penyelesaian dengan seni individu masing-masing. Dalam
bab ini, seorang dengan karakter atau proses yang lemah akan tumbang menjadi
mahasiswa sampa yang kehlangan arah.
Mungkin
agak berlebihan jika mengatakn bahwa kampus bagaikan belantara yang gelap bagi
seorang lulusan SMA tanpa fondasi karakter dan pengetahuan yang memadai. Tapi mungkin
banyaknya kasus kenakalan remaja, narkoba , bahkan LGBT yang menjangkit
mahasiswa layak menjadi sebuah warning bagi
kita yang akan mengirim saudara , adik atau anak kita ke dunia kampus, dunia
yang dianggap menjanjikan masa depan yang lebih baik.
Nelayan hebat tidak takut ombak
Namun
demikian, seorang anak muda yang optimis akan mengabaikan seribu alasan yang
membuatnya lemah. Tipikal pemuda seperti ini akan terus melaju, dengan langkah
tak terbendung karena dorongan energy positifnya lebih tinggi dari rasa was-was
dan rasa takutnya.
Sesungguhnya
engkau tidak dilahirkan untuk diam dalam keraguan
Hari
ini, lebih bergeraklah.
Mario Teguh
Kodratnya seorang pemuda itu
memang bergerak dan cenderung progresif.
Maka sudah selayaknya buka semua lapisan selimut itu. Berjalanlah pilih sendiri
warnamu dan bagaimana cara terbaik agar warna itu bisa mewarnai sisi – sisi
bagian hidup yang kamu inginkan.
Warna Yang Tersedia
Sebagai
seorang mahasiswa kelebihan kita adalah kebebasan. Kebebasan yang tentu saja
memiliki rambu-rambu. Sialnya sebagai mahasiswa rambu-rambu itu kita sendiri
yang membuatnya. Terbiasa berada disisi pengawasan orang tua dengan segala
rambu-rambu yang mereka tetapkan, lalu kita harus berada disebuah lingkungan
dengan pengawasan yang tak terlihat, pengawasan tuhan.
Siapa
yang berani menjamin bahwa semua nilai dan etika yang kita pertahankan dirumah
mampu 100% kita pertahankan tanpa degradasi ketika berada diperantauan. Sehingga
norma ideal yang ada sebenarnya tidak membatasi warna apa yang akan kita pilih,
singkatnya pilih semua warna yang kamu ingin kecuali satu warna. Anggaplah warna
yang dikecualikan itu warna hitam.
Mungkin
ketika kita sudah memahami tentang kebebasan menentukan warna kita didunia
kampus ini, tak aka nada seorangpun yang berani membantah tentangn pilihan
tersebut. Anggaplah anda memilih warna putih saja, menjadi mahasiswa denga
seratus persen konsentrasi pada akademik dengan alasan yang jelas, dengan
targetan yang konkrit dan tentunya dengan pertimbangan bahwa itu pilihan warna
terbaik yang bisa kamu pilih. Maka sudah tentu itu adalah warnamu, yakinkan dan
jalani.
Yang
jadi masalahadalah ketika kita menjadi biru tanpa tahu kenapa harus biru, atau
memilih hitam sedangkan kita sendiri tidak tahu apa manfaat dan faedah dari
hitam itu sendiri.
Seorang
mahasiswa yang memilih untuk memaksimalkan masa kuliahnya dengan berorganisasi
di lembaga pers mahasiswa misalnya, dia harus memiliki pola pikir jangka panjang kenapa ia pilih warna pers
menjadi warna hidupnya selama 4 tahun berkuliah. Ketika ia tahu dan ia bisa
menjabarkanya dengan rasional,minimal kepada hati kecilnya sendiri maka
yakinkan dan jalani.
0 komentar:
Post a Comment