Sebuah cerpen bergenre embuhlah oleh Bayu Apriliawan
Suatu hari disebuah perjalanan,
kita sering menjumpai orang-orang tengah terlelap menunggui kapan kendaraan
pengangkut penumpang ini akan berjalan. Mereka sibuk mengamati jam tangan
sembari berharap-harap cemas bahwa roda empat ini akan segera berjalan.
Penumpang didalam bis itu baru
empat orang sejak beberapa menit yang lalu. Seorang ibu-ibu setengah baya duduk
di barisan kursi ke tiga dekat dengan pintu keluar bagian depan. Dia nampaknya
tengah asyik menelpon saudara nun jauh disana dan sekilas aku mendengar mereka
tengah membicarakan kebutuhan tenaga kerja kasar yang harapanya saudara jauh
ibu ini bisa mengirimkan orang dari desa untuk bekerja dikota palembang.
Aku masih terkantuk-kantuk duduk
dikursi barisan ke-empat tepat dibelakang ibu setengah baya yang tengah asyik
bertelepon ria ini. Nampak seorang lelaki muda yang dari penampilanya saya
menyimpulkan bahwa dia adalah mahasiswa. Dia tengah asyik mendengarkan musik
melalui earphone tanpa sedikitpun
terganggu dengan ibu depan yang telponanya sampai teriak-teriak seperti ibu-ibu
pasar sedang jualan ikan asin.
Beberapa penumpang yang lain , aku
tak tau bagaimana mereka dan kondisi mereka. Aku hanya mengingat yang
terjangkau oleh pandangan mataku saja. Karena jujur aku tengah lelah sekali,
lelah batin maupum badan ini. Seperti habis selesai mengerjakan Ujian Nasional
yang disambung dengan kerja bakti sehari saja.
Sudah 30 menit sejak aku duduk
disini, penumpang hanya bertambah dua ekor saja. Ibu cerewet yang duduk didepan
ku sudah tak lagi bertelepon ria, dia nampaknya mulai jengah dengan sopir bus
yang tak jua memacu mobilnya untuk melaju. Mahasiswa disamping kananku
nampaknya sudah mulai tertidur dan penumpang lain, masih nampak bersabar
seperti yang selalu kulakukan ketika menunggu bis berangkat. Palingan juga
setengah jam lagi, fikirku.
Itu suara cempreng kenek terus saja
berteriak-teriak meskipun dalam 40 menit ini belum juga ada penumpang yang
mendekat “..Layo,,layo,,layo,,bentar lagi berangkat,,ayo layo,,layo…” entah dia
berteriak itu kepada dan untuk siapa. Mungkin saja dia terus berteriak agar
penumpang yang menunggu didalam tidak bosan, mungkin.
Penumpang mulai bosan, semua orang
sudah menunjukan kejengahanya masing-masing. Ibu yang duduk didepanku menjadi pemecah
kebuntuan , “ pir kapan nak jalan bis ini, la
dari jam 4 sampai magrib belum jalan-jalan, nak nunggu sampai subuh
apo?”. Gila pikir ku ini ibu-ibu mantan preman dia rupanya hahahaha. “ sabar
bu, nunggu penumpang penuh dulu kito” begitu sopir itu menjawab sekenanya.
Sebuah guncangan keras
membangunkanku, rupanya bis ini sudah jalan dan aku cukup terkejut ternyata
hari sudah gelap dan penumpang di mobil ini sudah penuh berjejalan. Bahkan
disampingku yang tadinya kosong kini sudah ada sesosok lelaki berperawakan
tinggi besar tengah menghisap sebatang rokok. Dia memegangi sebuah benda
panjang yang dibungkus dengan karung putih, seperti sebuah tongkat atau
semacamnya.
Aku melihat kejendela disebelah ku,
dari panorama alam yang ku kenali disepanjang jalan ini, aku faham bahwa bis
ini baru jalan sekitar 5 menit yang lalu. Ternyata aku kelelahan menunggu
sampai ketiduran seperti ini. Rasa kantukku belum juga habis ternyata, kini kusandarkan
kepalaku pada kursi didepanku. Aku mencoba melanjutkan tidur perjalananku. Lagipula
semua orang di sini nampaknya tengah pulas tertidur kecuali pria besar
disampingku ini.
Ia yang entah sejak kapan telah
terpejam dengan ekspresi se-kenanya itu. Nampaknya tak hanya aku yang begitu
kelelahan hari ini. Atau ini hanya pengaruh perjalanan yang begitu melenakan
ya? Suasana hari petang yang hanya diterangi remangnya lampu bus tua ini
ditambah semilirnya angin yang sengaja seenaknya masuk dari celah-celah jendela
dan pintu didepan dan dibelakang bagian bus yang setauku tidakpernah ditutup.
“Kak bangun kak, lah sampai
timbangan 32 “
Suara kenek yang cempreng ini
membangunkanku, rupanya bis kami telah sampai ditujuan akhir. Dan aku adalah penumpang
terakhir yang belum keluar karena tertidur untuk yang kesekian kalinya.
Aku pun bergegas untuk menuruni bus
ini. Ada yang terikat di di ujung tasku. Tunggu
apa ini? Kenapa ada plastic hitam yang terikat ditasku?
Kulihat ekspresi supir dan kenek
yang dari tadi menunggu aku enyah dari
hadapan mereka, dan nampaknya plastic ini bukan mereka yang punya. Aku pun
turun dan kubuka isi dari plastic tadi, dan ternyata isinya sebuah buku, dan
selembar surat.
“ Anak muda, kutitipkan buku kesayanganku ini padamu, pelajarilah isinya
dengan baik, dan setelah kau kuasai semua yang ada dialamnya, Bapak ingin kau
gunakan untuk membela kebajikan dan kaum yang tertindas . salam Ki
Brotoseno “
Semakin penasaran, kubuka buku
tersebut, dan dihalaman pertama tertulis
“ Jurus suci tapak Budha “
Kubuka halaman kedua isinya “ Jurus
Mabok 9 Naga “
Halaman 3 dan seterusnya buka…. Sampai
pada halaman terakhir
“ Jurus seribu bayangan “
Dengan gemetar ku bungkus rapi buku
ini. Aku tak menyangka Kitab 99 Jurus Dewa ini akhirnya bisa kumiliki juga
setelah sekian lama semua pendekar mencarinya.
Aku yakin dalam Sembilan bulan Sembilan
hari aku bisa menguasai semua teknik jurus dibuku ini. Dan aku akan mengalahkan
musuh-musuh bebuyutan ku seperti Geng kampak, dan Geng Serizawa yang selalu
menggangguku di sekolah.
Hahahahahah , tanpa sadar aku
tertawa sendiri saking bangganya aku bahwa aku akan menjadi siswa terhebat
disekolahku. Si Raisa akan berpaling dari Genji dan akan mengemis cintanya
padaku, hahahahaha… Akulah Raden Kian Santang.
Akulah sang prabu
Aku bisa menjadi tujuh
Aku bisa berganti wajah
Dan berpindah kemana-mana
Note :
Sebuah cerita yang yang bergenre embuhlah
Dengan alur maju mundur …maju mundur syantik
Ditulis oleh
Wiros Sableng
Keren klo baca tulisan orang, kalo baca tulisanku dwek hambar hiks
ReplyDelete