Monday, 18 December 2017

Penumpang Sakti

Sebuah cerpen bergenre embuhlah oleh Bayu Apriliawan



Suatu hari disebuah perjalanan, kita sering menjumpai orang-orang tengah terlelap menunggui kapan kendaraan pengangkut penumpang ini akan berjalan. Mereka sibuk mengamati jam tangan sembari berharap-harap cemas bahwa roda empat ini akan segera berjalan.


Penumpang didalam bis itu baru empat orang sejak beberapa menit yang lalu. Seorang ibu-ibu setengah baya duduk di barisan kursi ke tiga dekat dengan pintu keluar bagian depan. Dia nampaknya tengah asyik menelpon saudara nun jauh disana dan sekilas aku mendengar mereka tengah membicarakan kebutuhan tenaga kerja kasar yang harapanya saudara jauh ibu ini bisa mengirimkan orang dari desa untuk bekerja dikota palembang.

Aku masih terkantuk-kantuk duduk dikursi barisan ke-empat tepat dibelakang ibu setengah baya yang tengah asyik bertelepon ria ini. Nampak seorang lelaki muda yang dari penampilanya saya menyimpulkan bahwa dia adalah mahasiswa. Dia tengah asyik mendengarkan musik melalui  earphone tanpa sedikitpun terganggu dengan ibu depan yang telponanya sampai teriak-teriak seperti ibu-ibu pasar sedang jualan ikan asin.

Beberapa penumpang yang lain , aku tak tau bagaimana mereka dan kondisi mereka. Aku hanya mengingat yang terjangkau oleh pandangan mataku saja. Karena jujur aku tengah lelah sekali, lelah batin maupum badan ini. Seperti habis selesai mengerjakan Ujian Nasional yang disambung dengan kerja bakti sehari saja.

Sudah 30 menit sejak aku duduk disini, penumpang hanya bertambah dua ekor saja. Ibu cerewet yang duduk didepan ku sudah tak lagi bertelepon ria, dia nampaknya mulai jengah dengan sopir bus yang tak jua memacu mobilnya untuk melaju. Mahasiswa disamping kananku nampaknya sudah mulai tertidur dan penumpang lain, masih nampak bersabar seperti yang selalu kulakukan ketika menunggu bis berangkat. Palingan juga setengah jam lagi, fikirku.

Itu suara cempreng kenek terus saja berteriak-teriak meskipun dalam 40 menit ini belum juga ada penumpang yang mendekat “..Layo,,layo,,layo,,bentar lagi berangkat,,ayo layo,,layo…” entah dia berteriak itu kepada dan untuk siapa. Mungkin saja dia terus berteriak agar penumpang yang menunggu didalam tidak bosan, mungkin.

Penumpang mulai bosan, semua orang sudah menunjukan kejengahanya masing-masing. Ibu  yang duduk didepanku menjadi pemecah kebuntuan , “ pir kapan nak jalan bis ini, la  dari jam 4 sampai magrib belum jalan-jalan, nak nunggu sampai subuh apo?”. Gila pikir ku ini ibu-ibu mantan preman dia rupanya hahahaha. “ sabar bu, nunggu penumpang penuh dulu kito” begitu sopir itu menjawab sekenanya.

Sebuah guncangan keras membangunkanku, rupanya bis ini sudah jalan dan aku cukup terkejut ternyata hari sudah gelap dan penumpang di mobil ini sudah penuh berjejalan. Bahkan disampingku yang tadinya kosong kini sudah ada sesosok lelaki berperawakan tinggi besar tengah menghisap sebatang rokok. Dia memegangi sebuah benda panjang yang dibungkus dengan karung putih, seperti sebuah tongkat atau semacamnya.

Aku melihat kejendela disebelah ku, dari panorama alam yang ku kenali disepanjang jalan ini, aku faham bahwa bis ini baru jalan sekitar 5 menit yang lalu. Ternyata aku kelelahan menunggu sampai ketiduran seperti ini. Rasa kantukku belum juga habis ternyata, kini kusandarkan kepalaku pada kursi didepanku. Aku mencoba melanjutkan tidur perjalananku. Lagipula semua orang di sini nampaknya tengah pulas tertidur kecuali pria besar disampingku ini.

Ia yang entah sejak kapan telah terpejam dengan ekspresi se-kenanya itu. Nampaknya tak hanya aku yang begitu kelelahan hari ini. Atau ini hanya pengaruh perjalanan yang begitu melenakan ya? Suasana hari petang yang hanya diterangi remangnya lampu bus tua ini ditambah semilirnya angin yang sengaja seenaknya masuk dari celah-celah jendela dan pintu didepan dan dibelakang bagian bus yang setauku tidakpernah ditutup.

“Kak bangun kak, lah sampai timbangan 32 “
Suara kenek yang cempreng ini membangunkanku, rupanya bis kami telah sampai ditujuan akhir. Dan aku adalah penumpang terakhir yang belum keluar karena tertidur untuk yang kesekian kalinya.
Aku pun bergegas untuk menuruni bus ini. Ada yang terikat di di ujung tasku. Tunggu apa ini? Kenapa ada plastic hitam yang terikat ditasku?

Kulihat ekspresi supir dan kenek yang dari tadi menunggu aku enyah dari hadapan mereka, dan nampaknya plastic ini bukan mereka yang punya. Aku pun turun dan kubuka isi dari plastic tadi, dan ternyata isinya sebuah buku, dan selembar surat.

Anak muda, kutitipkan buku kesayanganku ini padamu, pelajarilah isinya dengan baik, dan setelah kau kuasai semua yang ada dialamnya, Bapak ingin kau gunakan untuk membela kebajikan dan kaum yang tertindas . salam Ki Brotoseno “

Semakin penasaran, kubuka buku tersebut, dan dihalaman pertama tertulis
“ Jurus suci tapak Budha “

Kubuka halaman kedua isinya “ Jurus Mabok 9 Naga “
Halaman 3 dan seterusnya buka…. Sampai pada halaman terakhir

“ Jurus seribu bayangan “

Dengan gemetar ku bungkus rapi buku ini. Aku tak menyangka Kitab 99 Jurus Dewa ini akhirnya bisa kumiliki juga setelah sekian lama semua pendekar mencarinya.

Aku yakin dalam Sembilan bulan Sembilan hari aku bisa menguasai semua teknik jurus dibuku ini. Dan aku akan mengalahkan musuh-musuh bebuyutan ku seperti Geng kampak, dan Geng Serizawa yang selalu menggangguku di sekolah.

Hahahahahah , tanpa sadar aku tertawa sendiri saking bangganya aku bahwa aku akan menjadi siswa terhebat disekolahku. Si Raisa akan berpaling dari Genji dan akan mengemis cintanya padaku, hahahahaha… Akulah Raden Kian Santang.


Akulah sang prabu
Aku bisa menjadi tujuh
Aku bisa berganti wajah
Dan berpindah kemana-mana



Note :
Sebuah cerita yang yang bergenre embuhlah
Dengan alur maju mundur …maju mundur syantik
Ditulis oleh

Wiros Sableng
Share:

1 comment:

  1. Keren klo baca tulisan orang, kalo baca tulisanku dwek hambar hiks

    ReplyDelete