Oleh : Bayu Apriliawan
Disadari atau
tidak model dan ‘cara’ kita beraktualisasi didunia kampus hari ini template nya sudah dibuat susah payah
oleh para aktivis-aktivis pendahulu kita, se-apik mungkin. Ya meskipun dalam kenyataanya mereka dulu nggak mikir kalau tindak- tanduk mereka,
cara mereka berkoloni, gaya mereka beretorika dan bentuk mental ‘sok berani’ mereka akan ditiru dari
generasi b, c dan d yang pada akhirnya segala bentuk cetak biru mahasiswa itu
sampai pada kita hari ini dengan beberapa amandemen seperlunya.
Kesadaran Intelektual
Abang – abang
kita yang sudah menyebar dan berdiaspora kemana-mana itu dulunya juga mahasiswa
biasa seperti kita sekarang ini. Mereka niatnya ya cuman kuliah dan kebetulan
kondisi mendukung pada waktu itu, seperti yang kita ketahui untuk berkuliah di
zaman dahulu kala butuh lebih dari sekedar nilai raport yang bagus atau bisa
lulus tes SNMPTN dan mendapatkan beasiswa seperti mahasiswa sekarang.
Mereka bukanlah
generasi manja yang menjadi acuh dan egois dengan nasib mereka sendiri.
Sepertinya mereka juga jauh dari fikiran-fikiran ‘ke-aku-an’ yang gandrung
mementingkan nasib diri sendiri,
“ Mau jadi apa
aku nanti, mau kerja dimana aku nanti, atau aku harus segera lulus agar bisa
lekas bekerja “
Pedih – perihnya
penjajahan menjadikan mereka sadar akan sakitnya menjadi bangsa yang bodoh
lalu terbentur dalam sebuah kesadaran bahwa pendidikan itu teramat penting.
Tak cukup sampai
disitu. Nampaknya menjadi mahasiswa membuat mereka mengemban sebuah predikat
yang pertanggungjawabanya berkorelasi terhadap nasib bangsa. “ Kaum Intelek “
begitulah orang dulu sampai sekarang menjuluki mahasiswa dan kelas-kelas
akademisi lainya. Bedanya aktivis-aktivis dulu sadar akan hal itu dan berusaha
sepenuh hati untuk mengamalkanya.
Pola fikir negarawan yang mayoritas dimiliki oleh aktivis-aktivis tempo doeloe ini juga nampaknya banyak di pengaruhi cara
mereka dididik oleh keluarga mereka yang mayoritas kalangan bangsawan. Ya harus
kita akui bahwa dulu hanya orang-orang khusus
saja yang bisa sekolah, kalau tidak keturunan darah biru, minimal saudagar
kaya-lah.
Mereka Yang Tau Cara Bersyukur
Kita akan ambil
dua sample aktivis tempo
doeloe yang benar adanya berasal
dari keluarga berada dan bisa mengenyam pendidikan tinggi karena takdir
keturunan itu.
Pertama tentu anda mengenal Dr. Soetomo sang pendiri cikal bakal organisasi pergerakan di Indonesia ‘Budi Utomo’. Beliau bisa mengenyam pendidikan dari kecil sampai akhirnya Pada tahun 1903, menempuh pendidikan kedokteran di School tot Opleiding van Inlandsche Artsen, Batavia karena beliau adalah seorang anak ningrat Jawa. Dr. Soetomo adalah putera pertama dari pasangan R. Soewadjipoetro dan R. AY. Soedarmi Soewadjipoetro. Gelar ‘R’ didepan masing-masing nama orang tuanya mengisyaratkan bahwa Dr. Soetomo lahir dari keluarga bangsawan, berdarah biru kata orang.
Orang kedua saya yakin tidak asing lagi dalam pembahasan panjang dan narasi ketokohan yang pernah kita diskusikan di forum-forum. Ir. Soekarno ternyata adalah anak dari seorang Raden bernama Raden Soekeni Sosrodihardjo. Ia berprofesi sebagai guru pemerintah Kolonial Belanda, siapa ibu Soekarno? Ternyata Ibunya juga seorang bangsawan, Ida Ayu Nyoman Rai merupakan keturunan bangsawan dari Bali dan beragama Hindu. Keberadaan orang tuanya adalah salah satu faktor yang membuat Soekarno mampu berangkat ke Bandung untuk melanjutkan pendidikan tinggi di THS (Technische Hoogeschool atau sekolah Tekhnik Tinggi yang sekarang menjadi ITB). Pada tahun 1926 atau ketika berumur 25 tahun, Soekarno berhasil menyelesaikan kuliahnya dan berhak menggunakan gelar Civile Ingeniuer (Insinyur Sipil). Gelar prestisius yang tidak sembarang orang bisa menyandangnya
Mereka secara
ekonomi sudah ‘berada’ mungkin sejak mereka ada dalam kandungan. Tapi yang kita
semua mesti salut dengan generasi – generasi kaum muda berada ini adalah mental mereka yang berkembang dengan baik plus dengan cara mereka berfikir dan berwacana.
Memakai Kaca Mata Proletar
Untung saja
ketika Negara ini merdeka kita masih belum terlalu kental dengan pemikiran –
pemikiran kapitalis, kalau sudah habislah kita sejak sebelum kemerdekaan. Anda
tentu sering membaca betapa egoisnya orang-orang yang menganut faham kapitalis
ini. Kemaslahatan dan penguasaan ekonomi hanya berada ditangan sang pemilik
modal. Singkatnya Loe – elo, gue- gue.
Sistem ekonomi
kapitalisme memang bisa memberikan keuntungan yang besar untuk para pemilik
modal atau alat-alat produksi, tetapi pada kenyataannya kapitalisme membuka
jurang kesenjangan sosial yang semakin besar. Terkadang keuntungan hanya
didapat oleh kaum elit yang lebih mampu bersaing dan bertahan, sedangkan kaum
golongan menengah ke bawah masih saja mengalami kesulitan-kesulitan dalam
memenuhi kebutuhan modal untuk menjalankan proses produksi.
Bisa anda
bayangkan kalau aktivis dan para mahasiswa – mahasiswa jaman dulu memakai
kacamata kapitalis dalam memandang permasalahan bangsa ini. Oya saya lupa,
bahwa penganut kapitalis tidak bicara kepedulian terhadap permasalahan bangsa.
Meskipun tidak
semuanya, tetapi mayoritas orang-orang yang dapat mengenyam pendidikan tinggi
di masa pra-kemerdekaan sampai pasca kemerdekaan adalah orang-orang berada yang
secara ekonomi mereka mampu, kalaupun bangsa ini terus dalam penindasan imperialis, toh mereka tetap akan memiliki
masa depan yang cerah dan prospek ekonomi keluarga yang baik, sekali lagi
karena mereka sudah terlanjur kaya sejak dalam kandungan.
Kaca mata yang
mereka pakai ketika mengenyam pendidikan
bukanlah kacamata bangsawan dan orang kaya yang sudah baik nasibnya. Mereka
memilih memposisikan diri sebagai rakyat miskin yang termarginalkan hak-haknya.
Memilih mengangkat isu penjajahan yang membawa kemelaratan ketimbang menghimpun
kekuatan para bangsawan - membicarakan bisnis dan dagangan.
Anak Bangsa dan Nasionalismenya
Kualitas
pemikiran intelek masa dulu yang
harus di ingat baik-baik oleh generasi muda khususnya mahasiswa dewasa ini
adalah bagaimana mereka meredam keinginan untuk berlepas diri dari tanggung
jawab.
Kalau toh bukan
karena merasa bahwa mereka ini adalah anak bangsa yang lahir dari rahim pertiwi
ini, seorang Habibi tidak perlu repot-repot pulang ke Indonesia disaat dia
dipuja-puja di Jerman sana.
Nasionalisme
adalah warna pertama yang digoreskan para bapak bangsa ini ketika mereka
bergerak memperjuangkan hak-hak kaum pribumi. Ya nasionalime lah yang beberapa
tahun kemudian melahirkan warna kedua disebuah momentum sumpah pemuda, persatuan.
Warna Itu mulai pudar…
Nasionalisme ,
kesadaran intelektual, tanggung jawab atas permasalahan bangsa dan nilai- nilai
persatuan adalah warna-warna perjuangan yang diwariskan oleh para pahlawan
sekaligus aktivis bangsa ini. Mereka menggoreskanya dengan pencarian yang
panjang dan mahal.
Lalu hari ini
warna itu mulai memudar ditanganmu wahai para mahasiswa Indonesia? Silahkan
renungi betapa kapitalisnya bangsa ini hari ini, leluasanya bangsa asing
memperkosa setiap kekayaan bumi pertiwi,
omong kosong semua nasionalisme yang dipidato-kan dimana-mana.
Renungi betapa
persatuan kita kini seperti tisu tipis yang mudah terbakar hanya karena isu
SARA yang di ada-adakan oleh musuh-musuh dan para pengkhianat bangsa ini? Dan
teruslah apatis sampai kau dapati negerimu ini hanya tinggal gugusan kepulauan yang tak punya apa-apa lagi selain gema
penyesalan.
Musim Hujan Desember 2017
Di Kamar kosan yang sebentar lagi diperpanjang atau disudahi
Kopi, Malam dan Kontemplasi
Bayu Apriliawan
0 komentar:
Post a Comment