Saturday, 16 December 2017

Warisan Paradigma Generasi Terdahulu Dan Warna Yang Mulai Pudar

Oleh : Bayu Apriliawan

Disadari atau tidak model dan ‘cara’ kita beraktualisasi didunia kampus hari ini template nya sudah dibuat susah payah oleh para aktivis-aktivis pendahulu kita, se-apik mungkin. Ya meskipun dalam kenyataanya mereka dulu nggak mikir kalau tindak- tanduk mereka, cara mereka berkoloni, gaya mereka beretorika dan bentuk mental ‘sok berani’ mereka akan ditiru dari generasi b, c dan d yang pada akhirnya segala bentuk cetak biru mahasiswa itu sampai pada kita hari ini dengan beberapa amandemen seperlunya.



Kesadaran  Intelektual
Abang – abang kita yang sudah menyebar dan berdiaspora kemana-mana itu dulunya juga mahasiswa biasa seperti kita sekarang ini. Mereka niatnya ya cuman kuliah dan kebetulan kondisi mendukung pada waktu itu, seperti yang kita ketahui untuk berkuliah di zaman dahulu kala butuh lebih dari sekedar nilai raport yang bagus atau bisa lulus tes SNMPTN dan mendapatkan beasiswa seperti mahasiswa sekarang.

Mereka bukanlah generasi manja yang menjadi acuh dan egois dengan nasib mereka sendiri. Sepertinya mereka juga jauh dari fikiran-fikiran ‘ke-aku-an’ yang gandrung mementingkan nasib diri sendiri,
“ Mau jadi apa aku nanti, mau kerja dimana aku nanti, atau aku harus segera lulus agar bisa lekas bekerja “

Pedih – perihnya penjajahan menjadikan mereka sadar akan sakitnya menjadi bangsa yang bodoh lalu terbentur dalam sebuah kesadaran bahwa pendidikan itu teramat penting.

Tak cukup sampai disitu. Nampaknya menjadi mahasiswa membuat mereka mengemban sebuah predikat yang pertanggungjawabanya berkorelasi terhadap nasib bangsa. “ Kaum Intelek “ begitulah orang dulu sampai sekarang menjuluki mahasiswa dan kelas-kelas akademisi lainya. Bedanya aktivis-aktivis dulu sadar akan hal itu dan berusaha sepenuh  hati untuk mengamalkanya.

Pola fikir negarawan  yang mayoritas dimiliki oleh aktivis-aktivis tempo doeloe  ini juga nampaknya banyak di pengaruhi cara mereka dididik oleh keluarga mereka yang mayoritas kalangan bangsawan. Ya harus kita akui bahwa dulu hanya orang-orang khusus saja yang bisa sekolah, kalau tidak keturunan darah biru, minimal saudagar kaya-lah.

Mereka Yang Tau Cara Bersyukur
Kita akan ambil dua sample  aktivis tempo doeloe  yang benar adanya berasal dari keluarga berada dan bisa mengenyam pendidikan tinggi karena takdir keturunan itu.

Pertama tentu anda mengenal Dr. Soetomo sang pendiri cikal bakal organisasi pergerakan di Indonesia ‘Budi Utomo’. Beliau bisa mengenyam pendidikan dari kecil sampai akhirnya Pada tahun 1903, menempuh pendidikan kedokteran di School tot Opleiding van Inlandsche Artsen, Batavia karena beliau adalah seorang anak ningrat Jawa. Dr. Soetomo adalah putera pertama dari pasangan R. Soewadjipoetro dan R. AY. Soedarmi Soewadjipoetro. Gelar ‘R’ didepan masing-masing nama orang tuanya mengisyaratkan bahwa Dr. Soetomo lahir dari keluarga bangsawan, berdarah biru kata orang.

Orang kedua saya yakin tidak asing lagi dalam pembahasan panjang dan narasi ketokohan yang pernah kita diskusikan di forum-forum. Ir. Soekarno ternyata adalah anak dari seorang Raden bernama Raden Soekeni Sosrodihardjo. Ia berprofesi sebagai guru pemerintah Kolonial Belanda, siapa ibu Soekarno? Ternyata Ibunya juga seorang bangsawan, Ida Ayu Nyoman Rai merupakan keturunan bangsawan dari Bali dan beragama Hindu. Keberadaan orang tuanya adalah salah satu faktor yang membuat Soekarno mampu berangkat ke Bandung untuk melanjutkan pendidikan tinggi di THS (Technische Hoogeschool atau sekolah Tekhnik Tinggi yang sekarang menjadi ITB). Pada tahun 1926 atau ketika berumur 25 tahun, Soekarno berhasil menyelesaikan kuliahnya dan berhak menggunakan gelar Civile Ingeniuer (Insinyur Sipil). Gelar prestisius yang tidak sembarang orang bisa menyandangnya

Mereka secara ekonomi sudah ‘berada’ mungkin sejak mereka ada dalam kandungan. Tapi yang kita semua mesti salut dengan generasi – generasi kaum muda berada ini adalah mental mereka yang berkembang dengan baik plus  dengan cara mereka berfikir dan berwacana.

Memakai Kaca Mata Proletar
Untung saja ketika Negara ini merdeka kita masih belum terlalu kental dengan pemikiran – pemikiran kapitalis, kalau sudah habislah kita sejak sebelum kemerdekaan. Anda tentu sering membaca betapa egoisnya orang-orang yang menganut faham kapitalis ini. Kemaslahatan dan penguasaan ekonomi hanya berada ditangan sang pemilik modal. Singkatnya Loe – elo, gue- gue.

Sistem ekonomi kapitalisme memang bisa memberikan keuntungan yang besar untuk para pemilik modal atau alat-alat produksi, tetapi pada kenyataannya kapitalisme membuka jurang kesenjangan sosial yang semakin besar. Terkadang keuntungan hanya didapat oleh kaum elit yang lebih mampu bersaing dan bertahan, sedangkan kaum golongan menengah ke bawah masih saja mengalami kesulitan-kesulitan dalam memenuhi kebutuhan modal untuk menjalankan proses produksi.

Bisa anda bayangkan kalau aktivis dan para mahasiswa – mahasiswa jaman dulu memakai kacamata kapitalis dalam memandang permasalahan bangsa ini. Oya saya lupa, bahwa penganut kapitalis tidak bicara kepedulian terhadap permasalahan bangsa.

Meskipun tidak semuanya, tetapi mayoritas orang-orang yang dapat mengenyam pendidikan tinggi di masa pra-kemerdekaan sampai pasca kemerdekaan adalah orang-orang berada yang secara ekonomi mereka mampu, kalaupun bangsa ini terus dalam penindasan imperialis, toh mereka tetap akan memiliki masa depan yang cerah dan prospek ekonomi keluarga yang baik, sekali lagi karena mereka sudah terlanjur kaya sejak dalam kandungan.

Kaca mata yang mereka pakai ketika mengenyam pendidikan  bukanlah kacamata bangsawan dan orang kaya yang sudah baik nasibnya. Mereka memilih memposisikan diri sebagai rakyat miskin yang termarginalkan hak-haknya. Memilih mengangkat isu penjajahan yang membawa kemelaratan ketimbang menghimpun kekuatan para bangsawan - membicarakan bisnis dan dagangan.

Anak Bangsa dan Nasionalismenya
Kualitas pemikiran intelek masa dulu yang harus di ingat baik-baik oleh generasi muda khususnya mahasiswa dewasa ini adalah bagaimana mereka meredam keinginan untuk berlepas diri dari tanggung jawab.

Kalau toh bukan karena merasa bahwa mereka ini adalah anak bangsa yang lahir dari rahim pertiwi ini, seorang Habibi tidak perlu repot-repot pulang ke Indonesia disaat dia dipuja-puja di Jerman sana.
Nasionalisme adalah warna pertama yang digoreskan para bapak bangsa ini ketika mereka bergerak memperjuangkan hak-hak kaum pribumi. Ya nasionalime lah yang beberapa tahun kemudian melahirkan warna kedua disebuah momentum sumpah pemuda, persatuan.

Warna Itu mulai pudar…
Nasionalisme , kesadaran intelektual, tanggung jawab atas permasalahan bangsa dan nilai- nilai persatuan adalah warna-warna perjuangan yang diwariskan oleh para pahlawan sekaligus aktivis bangsa ini. Mereka menggoreskanya dengan pencarian yang panjang dan mahal.

Lalu hari ini warna itu mulai memudar ditanganmu wahai para mahasiswa Indonesia? Silahkan renungi betapa kapitalisnya bangsa ini hari ini, leluasanya bangsa asing memperkosa setiap kekayaan  bumi pertiwi, omong kosong semua nasionalisme yang dipidato-kan dimana-mana.

Renungi betapa persatuan kita kini seperti tisu tipis yang mudah terbakar hanya karena isu SARA yang di ada-adakan oleh musuh-musuh dan para pengkhianat bangsa ini? Dan teruslah apatis sampai kau dapati negerimu ini hanya tinggal gugusan kepulauan  yang tak punya apa-apa lagi selain gema penyesalan.




Musim Hujan Desember 2017
Di Kamar kosan yang sebentar lagi diperpanjang atau disudahi
Kopi, Malam dan Kontemplasi
Bayu Apriliawan
Share:
Lokasi: Yogyakarta, Yogyakarta City, Special Region of Yogyakarta, Indonesia

0 komentar:

Post a Comment