Indonesia telah memberlakukan wajib belajar sembilan tahun, enam tahun untuk jenjang Sekolah Dasar/Madrasah Ibtidaiyah dan tiga tahun untuk Sekolah Menengah Pertama / Madrasah Tsanawiyah. Suatu kebijakan yang memiliki daya paksa melalui status ‘wajib’ nya. Tidak lain diberlakukanya kebijakan ini adalah keinginan pemerintah agar cita rasa status pendidikan masyarakatnya memiliki standar tertentu dengan minimal pemahaman setingkat SMP.
Dalam perjalananya Pendidikan Indonesia mengalami
bongkar pasang muatan-muatanya. Baik dari segi administratif pengelolaan,
standar kompetensi yang diinginkan, targetan-targetanya sampai kepada
kurikulum-kurikulum yang hampir selalu mengalami ‘renovasi’ sesuei selera Bapak
mentri. Sepertinya negara kita dan para perumus peradaban negeri ini belum juga
mnemukan racikan yang tepat dan komprehensif dalam meramu bagaimana pendidikan
anak bangsa Indonesia ini kedepanya.
Saat ini pendidikan Indonesia tanggung jawab
pengelolaanya dibebankan kepada Kementrian Pendidikan dan Kebudayaan
(Kemendikbud) dimana dulu bernama Departemen Pendidikan Nasional Republik
Indonesia (Depdiknas). Secara regulasi, yang terkini menggunakan acuan gerak
yang berpedoman pada Undang-Undang Nomor 20
Tahun 2003 tentang Sistem Pendidikan Nasional. Secara ringkas, melalui UUD ini,
pemerintah ingin menyampaikan bahwa negara ada dan memfasilitasi pendidikan
warganya.
Sumatera selatan mengklaim
sebagai provinsi yang mempelopori pendidikan gratis untuk jenjang perguruan
tinggi, dimana program ini pertama kali diluncurkan oleh Bapak Gubernur pada
pertengahan tahun 2015 lalu. Bahkan untuk pendidikan dasar sampai pendidikan
tingkat menengah atas Sumsel sejak tahun 2008 telah menggratiskanya. Yang
kemudian di ikuti oleh beberapa daerah lainya.
Menempatkan pendidikan pada
prioritas utama daerah-daerah yang ada di Indonesia adalah sebuah signal yang positif. Hal ini segaris lurus dengan
meningkatnya kesadaran intelektual akan pentingnya mengakselerasi peradaban
melalui pendidikan yang terjamin, terjangkau dan merata.
Spirit berpendidikan, adalah suatu
mental yang mulai berkembang dimasyarakat kita. Sebuah semangat untuk mengenyam
pendidikan setinggi-tingginya, untuk dirinya, untuk anggota keluarganya dan
untuk lingkungan masyarakatnya. Terlepas adanya perbedaan motif dan tujuan akan
semangat berpendidkan tersebut kita tetap patut bersyukur atas trend positif ini, suatu trend Sadar dan melek pendidikan.
Ketika pemerintah sebagai
pengambil kebijakan dan masyarakat sebagai objek kebijakan tersebut telah
memiliki langkah dan semangat yang sama dalam rangka menyukseskan Euforia hegemoni
pendidikan, seharusnya ini menjadi kondisi yang ideal dan menjadi titik awal
majunya peradaban Indonesia. Namun realitanya, tidak sesederahana itu , Hari
ini kami kalangan mahasiswa masih mendapati adik-adik kami yang penuh potensi
dan prestasi, hanya mampu melangkah tertunduk lesu setelah menyadari bahwa
cita-citanya untuk mengenyam pendidikan tinggi harus terbentur dengan Uang
Kuliah Tinggi.
Pernah kita mendengar bahwa Negara akan menjamin
pendikan untuk semua lapisan seperti yang termaktub dalam UUD 1945 pasal 31,
yang sekurang-kurangnya mencakup 5 Ayat, Ayat 1: Setiap warga negara berhak mendapat pendidikan, Ayat
2: Setiap warga negara wajib mengikuti pendidikan dasar dan pemerintah
wajib mbiayainya, Ayat 3: Pemerintah mengusahakan dan
menyelenggarakan satu sistem pendidikan nasional, yang meningkatkan keimanan
dan ketakwaan serta ahlak mulia dalam rangka mencerdaskan kehidupan bangsa, yang
diatur dengan undang-undang, Ayat 4: Negara memprioritaskan anggaran
pendidikan sekurang-kurangnya 20% dari anggaran pendapatan dan belanja negara
serta dari anggaran pendapatan dan belanja daerah untuk memenuhi kebutuhan penyelenggaraan
pendidikan nasional, dan Ayat 5: Pemerintah memajukan ilmu pengetahuan
dan teknologi dengan menunjang tinggi nilai-nilai agama dan persatuan bangsa
untuk kemajuan peradaban serta kesejahteraan umat manusia.
Pertanyaanya apakah
kumpulan pasal dan ayat tersebut nyata atau hanya ilusi khayalan semata? Kita
terlalu sering menjadikan fenomena-fenomena di Negeri ini sebagai guyonan.
Pelaksanaan aturan-aturan negara dilapangan yang kontradiktif dengan apa yang
ditulis di buku UUD membuat kita menyadari satu hal, pemerintah tidak serius
dalam mengelola negara ini. Kalau pemerintah serius, tentunya ada pengawasan
yang sungguh-sungguh ditataran pelaksana pendidikan diakar rumput. Moment penerimaan siswa baru, dan
penerimaan mahasiswa baru adalah satu gerbang masuk yang sering kali menjadi
ajang ‘jual-beli pendidikan’ yang patut serius untuk diawasi. Karna isu ini
sebenarnya sudah marak terdengar ditelinga kita, tapi pemerintah nampaknya
nyaman melakukan pembiaran-demi pembiaran.
Kastanisasi pendidikan
telah secara kultural terbentuk diam-diam ditengah-tengah sistem pendidikan
yang ada. Kita tidak bisa mengangguk tunduk dengan trend yang berkembang bahwa pendidikan hanya bisa dinikmati oleh
kasta masyarakat golongan menengah atas saja. Karna ini tidak sesuei dengan
amanat pancasila dan UUD 1945. Kita mesti bersepakat dalam satu hal, bahwa
Negara harus menjamin terlaksananya sila ke-5, Keadilan sosial bagi seluruh
rakyat Indonesia. Ketersediaan pendidikan yang terjangkau, pengawasan
‘jual-beli’ pendidikan, dan pemerataan pendidikan bagi masyarakat terpencil dan
kurang mampu harapanya bisa menjadi prioritas pemerintah untuk dikedepankan
dalam program-program pendidikanya. Kita semua rakyat Indonesia pastilah
memimpikan terlaksanya pendidikan yang memihak kepada semua lapisan, karena
hari ini kita masih banyak mendapati anak-anak usia sekolah berkeliaran
dijalan-jalan dengan aktivitas-aktivitas yang sama sekali tidak sepatutnya
mereka lakukan.
Keterangan :
Tulisan ini telah terbit dikoran Sumeks pada kolom suara kampus dengan beberapa 'pemadatan' yang mungkin membuat pembaca kurang nyaman シ
Tulisan ini telah terbit dikoran Sumeks pada kolom suara kampus dengan beberapa 'pemadatan' yang mungkin membuat pembaca kurang nyaman シ
0 komentar:
Post a Comment