Tuesday, 9 May 2017

Spirit Berpendidikan dan Realitasnya




Indonesia telah memberlakukan wajib belajar sembilan tahun, enam tahun untuk jenjang  Sekolah Dasar/Madrasah Ibtidaiyah dan tiga tahun untuk Sekolah Menengah Pertama / Madrasah Tsanawiyah. Suatu kebijakan yang memiliki daya paksa melalui status ‘wajib’ nya. Tidak lain diberlakukanya kebijakan ini adalah keinginan pemerintah agar cita rasa status pendidikan masyarakatnya memiliki standar tertentu dengan minimal pemahaman setingkat SMP.
Dalam perjalananya Pendidikan Indonesia mengalami bongkar pasang muatan-muatanya. Baik dari segi administratif pengelolaan, standar kompetensi yang diinginkan, targetan-targetanya sampai kepada kurikulum-kurikulum yang hampir selalu mengalami ‘renovasi’ sesuei selera Bapak mentri. Sepertinya negara kita dan para perumus peradaban negeri ini belum juga mnemukan racikan yang tepat dan komprehensif dalam meramu bagaimana pendidikan anak bangsa Indonesia ini kedepanya.
Saat ini pendidikan Indonesia tanggung jawab pengelolaanya dibebankan kepada Kementrian Pendidikan dan Kebudayaan (Kemendikbud) dimana dulu bernama Departemen Pendidikan Nasional Republik Indonesia (Depdiknas). Secara regulasi, yang terkini menggunakan acuan gerak yang berpedoman pada Undang-Undang Nomor 20 Tahun 2003 tentang Sistem Pendidikan Nasional. Secara ringkas, melalui UUD ini, pemerintah ingin menyampaikan bahwa negara ada dan memfasilitasi pendidikan warganya.
Sumatera selatan mengklaim sebagai provinsi yang mempelopori pendidikan gratis untuk jenjang perguruan tinggi, dimana program ini pertama kali diluncurkan oleh Bapak Gubernur pada pertengahan tahun 2015 lalu. Bahkan untuk pendidikan dasar sampai pendidikan tingkat menengah atas Sumsel sejak tahun 2008 telah menggratiskanya. Yang kemudian di ikuti oleh beberapa daerah lainya.
Menempatkan pendidikan pada prioritas utama daerah-daerah yang ada di Indonesia adalah sebuah signal  yang positif. Hal ini segaris lurus dengan meningkatnya kesadaran intelektual akan pentingnya mengakselerasi peradaban melalui pendidikan yang terjamin, terjangkau dan merata.
Spirit berpendidikan, adalah suatu mental yang mulai berkembang dimasyarakat kita. Sebuah semangat untuk mengenyam pendidikan setinggi-tingginya, untuk dirinya, untuk anggota keluarganya dan untuk lingkungan masyarakatnya. Terlepas adanya perbedaan motif dan tujuan akan semangat berpendidkan tersebut kita tetap patut bersyukur atas trend positif ini, suatu trend Sadar dan melek pendidikan.
Ketika pemerintah sebagai pengambil kebijakan dan masyarakat sebagai objek kebijakan tersebut telah memiliki langkah dan semangat yang sama dalam rangka menyukseskan Euforia hegemoni pendidikan, seharusnya ini menjadi kondisi yang ideal dan menjadi titik awal majunya peradaban Indonesia. Namun realitanya, tidak sesederahana itu , Hari ini kami kalangan mahasiswa masih mendapati adik-adik kami yang penuh potensi dan prestasi, hanya mampu melangkah tertunduk lesu setelah menyadari bahwa cita-citanya untuk mengenyam pendidikan tinggi harus terbentur dengan Uang Kuliah Tinggi.
Pernah kita mendengar bahwa Negara akan menjamin pendikan untuk semua lapisan seperti yang termaktub dalam UUD 1945 pasal 31, yang sekurang-kurangnya mencakup 5 Ayat, Ayat 1:  Setiap warga negara berhak mendapat pendidikan, Ayat 2:  Setiap warga negara wajib mengikuti pendidikan dasar dan pemerintah  wajib mbiayainya, Ayat 3:  Pemerintah mengusahakan dan menyelenggarakan satu sistem pendidikan nasional, yang meningkatkan keimanan dan ketakwaan serta ahlak mulia dalam rangka mencerdaskan kehidupan bangsa, yang diatur dengan undang-undang, Ayat 4:  Negara memprioritaskan anggaran pendidikan sekurang-kurangnya 20% dari anggaran pendapatan dan belanja negara serta dari anggaran pendapatan dan belanja daerah untuk memenuhi kebutuhan penyelenggaraan pendidikan nasional, dan Ayat 5:  Pemerintah memajukan ilmu pengetahuan dan teknologi dengan menunjang tinggi nilai-nilai agama dan persatuan bangsa untuk kemajuan peradaban serta kesejahteraan umat manusia.
        Pertanyaanya apakah kumpulan pasal dan ayat tersebut nyata atau hanya ilusi khayalan semata? Kita terlalu sering menjadikan fenomena-fenomena di Negeri ini sebagai guyonan. Pelaksanaan aturan-aturan negara dilapangan yang kontradiktif dengan apa yang ditulis di buku UUD membuat kita menyadari satu hal, pemerintah tidak serius dalam mengelola negara ini. Kalau pemerintah serius, tentunya ada pengawasan yang sungguh-sungguh ditataran pelaksana pendidikan diakar rumput. Moment penerimaan siswa baru, dan penerimaan mahasiswa baru adalah satu gerbang masuk yang sering kali menjadi ajang ‘jual-beli pendidikan’ yang patut serius untuk diawasi. Karna isu ini sebenarnya sudah marak terdengar ditelinga kita, tapi pemerintah nampaknya nyaman melakukan pembiaran-demi pembiaran.
            Kastanisasi pendidikan telah secara kultural terbentuk diam-diam ditengah-tengah sistem pendidikan yang ada. Kita tidak bisa mengangguk tunduk dengan trend yang berkembang bahwa pendidikan hanya bisa dinikmati oleh kasta masyarakat golongan menengah atas saja. Karna ini tidak sesuei dengan amanat pancasila dan UUD 1945. Kita mesti bersepakat dalam satu hal, bahwa Negara harus menjamin terlaksananya sila ke-5, Keadilan sosial bagi seluruh rakyat Indonesia. Ketersediaan pendidikan yang terjangkau, pengawasan ‘jual-beli’ pendidikan, dan pemerataan pendidikan bagi masyarakat terpencil dan kurang mampu harapanya bisa menjadi prioritas pemerintah untuk dikedepankan dalam program-program pendidikanya. Kita semua rakyat Indonesia pastilah memimpikan terlaksanya pendidikan yang memihak kepada semua lapisan, karena hari ini kita masih banyak mendapati anak-anak usia sekolah berkeliaran dijalan-jalan dengan aktivitas-aktivitas yang sama sekali tidak sepatutnya mereka lakukan.

Keterangan :
Tulisan ini telah terbit dikoran Sumeks pada kolom suara kampus dengan beberapa 'pemadatan' yang mungkin membuat pembaca kurang nyaman シ


Share:

0 komentar:

Post a Comment