Sejauh mata memandang, dedaunan hijau membersamai langkah-langkah sendu romli setiap detik paginya. Dia bersekolah tak jauh dari rumahnya, 300 meter saja setiap harinya jalan santai yang harus dilakukan romli untuk menuju sekolahnya. Pagi ini adalah pagi kesekian paginya dia akan berjalan beberapa langkah lalu berhenti didepn rumah sang pujaan hatinya, Nurlela.
Nurlela, dara manja sekaligus
tomboy yang menebar sejuta pesona sejak tiga tahun yang lalu di sanubari pemuda
tanggung itu. Romli menyukainya, sangat. Bukan karena ada apa-apanya tapi,
karena apa adanya Nurlela. Masa SMA berlalu begitu cepat, secepat dedaunan
jatuh dan sekilat sambaran rindu diantara mereka datang lalu pergi
sekehendaknya saja.
Sayang , karena dekatnya rumah
mereka dengan sekolah,jalan kaki bersama mereka hanya cukup beberapa bait
pembicaraan saja yang terlaksana. Bahkan untuk menyelesaiakan satu judul puisi
saja rasanya masih kurang. Ah , kasian sekali dua sejoli ini. Mereka tak punya
kuasa selain hanya melempar simpulan senyum untuk kemudian berlalu karena
mereka beda kelas.
Ingin rasanya Romli memutar waktu
lalu menghabiskan setiap berangkat dan pulangnya untuk bersama-sama dengan
Nurlela tanpa sedikitpun terlewatkan, bila perlu hari minggu juga sekolah. Ya meskipun
hanya bisa mengobrol sepatah-dua patah kata dengan sesimpul atau dua simpul
senyum penuh arti saja, itu sudah cukup. Mereka adalah remaja penuh
kehati-hatian yang menjaga adat ketimuran, belum mengenal apa yang namanya
pacaran.
Tepat 17 juli 1980, mereka akan
berpisah bersamaan dengan pengumuman kelulusan hasil Ujian Nasional. Nampaknya mereka berdua tidak
ada yang berminat untuk melanjutkan pendidikan ke tingkat universitas. Bukan karena
tak ingin , tapi tak umum saja. Pada saat itu, kuliah adalah kosa kata yang
terlalu ‘wah’ bagi orang desa macam mereka berdua.
Tapi apa mau dibuat. Menikah mereka
masih terlalu muda. Lagi pula mau dikasih makan apa si Nurlela nanti. Dan bukanya
ibu nurlela menetapkan SNI_CM (standar nasional calon menantu) yang tinggi? Duh,
makin gusar saja hati si romli. Tradisi yang ada didesanya, seorang pemuda
harus merantau dulu untuk mengumpulkan pundi-pundi uangnya lalu kemudian pulang
untuk menikah.
Lalu , angin mana yang harus
diturut,ketika desiran pertama mengisyaratkan untuk pergi berjuang dan datang
kembali untuk menjemput nurlela atau desiran kedua yang melemahkanya. Dia hanya
khawatir kalau saja kalah cepat dengan yang lain, maka habislah sudah
mimpi-mimpinya untuk membangun cerita indah bersama Nurlela. Romli hanya belum
pernah terfikirkan kalau tidak dengan Nurlela dia harus dengan siapa lagi? Toh selama
ini dia tidak bermimpi selain bersama Nurlela.
Malam sebelum perpisahan
sekolah..
Ditemaram-nya lampu teplok
dikamar mungil itu. Romli mengukir kata-kata untuk sang pujaan hati :
Untuk mu..
Keindahan yang kusemogakan
Diperaduan malam yang melelahkan
Dari butiran beras kesukaanmu ( Romli)
Ketika
batin ini benar-benar memutuskan untuk berhenti
Menggumuli
pencarian tiada henti
Lalu
mencoba sejenak untuk meniati
Bahwa
kamulah yang terkini dan ternanti
Edaran
acak waktu yang diam saja
Melaju
kencang tanpa mengaba-aba padaku
Diantara
senja masa yang muda
Kan
kuputuskan nama belakangku ada dinamamu
Dering
arloji menyadarkanku..
Bahwa
mimpi malam ini
Membawaku
menjauhi pusaran bumi
Terlalu
tinggi,,
Terlalu
dini..
Senyum
dedaunan mulai memuai
Disaat
hangat mentari menerpa wajahku
Aku
masih berfikir
Bisakah
kuwujdkan mimpi semalam itu..
Hidup
bersamamu
Lalan, 16 Juli 1980
Romli
Lalu surat berisi empat bait
puisi itupun menjadi bantal tidur lelap romli yang kelelahan memikirkan paduan
kata terindah utk perpisahan nya diesok hari. Fajar akan segera menyingsing dan
masa depan akan segera ditentukan dari apa yang kita pilih. Romli telah memilih
untuk berjuang demi apa yang layak diperjuangkan.
Pagi yang teriring gerimis sendu diantaranya, tak mengurungkan niat Romli untuk bergegas berangkat kesekolah dihari terakhirnya. Surat tadi malam telah dilipatnya dengan rapi, tentang bahasa terakhir kebersamaan; puisi perpisahan!
Meskipun dengan berjalanya waktu, kasih dan rindu yang ada tak tau apakah terbalas setimpal, atau hanya terbalas sekenanya. Cinta romli bak gunung yang tinggi menjulang, tapi cinta Nurlela bagaikan ombak yang kadang meninggi tapi kadang melandai jua. Sulit menilai bahasa cina seorang wanita, mereka bisa mengaku cinta dengan menggebunya tapi sulit dipercaya kevalidan-nya.
lalu, akankah Nurlela menjadi padanan mimpi yang menyambut perjuangan itu? Atau menjadi secercah hati yang rasional dan enggan percaya pada pembuktian romli? Mungkinkah Nurlela bertahan dengan hati yang setia mengukirkan komitmen kesejatian penantian? Atau justru Nurlela menyimpan sepotong hati untuk cinta yang lain nun jauh disana?Nantikan kisah selanjutnya di Romli dan Nurlela the series wkwkwkwk.
Pagi yang teriring gerimis sendu diantaranya, tak mengurungkan niat Romli untuk bergegas berangkat kesekolah dihari terakhirnya. Surat tadi malam telah dilipatnya dengan rapi, tentang bahasa terakhir kebersamaan; puisi perpisahan!
Meskipun dengan berjalanya waktu, kasih dan rindu yang ada tak tau apakah terbalas setimpal, atau hanya terbalas sekenanya. Cinta romli bak gunung yang tinggi menjulang, tapi cinta Nurlela bagaikan ombak yang kadang meninggi tapi kadang melandai jua. Sulit menilai bahasa cina seorang wanita, mereka bisa mengaku cinta dengan menggebunya tapi sulit dipercaya kevalidan-nya.
lalu, akankah Nurlela menjadi padanan mimpi yang menyambut perjuangan itu? Atau menjadi secercah hati yang rasional dan enggan percaya pada pembuktian romli? Mungkinkah Nurlela bertahan dengan hati yang setia mengukirkan komitmen kesejatian penantian? Atau justru Nurlela menyimpan sepotong hati untuk cinta yang lain nun jauh disana?Nantikan kisah selanjutnya di Romli dan Nurlela the series wkwkwkwk.
Mantap !! Next kak 😃
ReplyDelete