Source Picture : pixabay.com |
***
Hari
ini, hari Jumat 11 Agustus 1999, merupakan hari yang bersejarah. Keputusan besar
telah kami ambil untuk berangkat kepulau seberang nun jauh disana. Palembang,
kota yang memberikan secercah harapan dari suramnya masa depan pemuda desa yang
bermimpi mengenyam pendidikan tinggi namun terhalang oleh faktor ekonomi.
Kejahatan
terbesar yang dilakukan oleh pengelola negara adalah membiarkan warganya
dikalahkan oleh nasib dan kemiskinan. Indonesia mungkin belum berfikir sejau
Brunei atau negara-negara maju lainnya yang menggratiskan semua biaya
pendidikan bahkan sampai menggaji warganya. Mereka mungkin negara kaya, tapi
aku meyakini bahwa mereka tidak lebih kaya dari Indonesia, sayangnya
orang-orang Indonesia yang bermental miskin sehingga perlu terus melakukan
korupsi untuk memperkaya dirinya. Ah sudahlah,pemuda desa seperti kami ini bisa
apa dengan semua dinamika ini.
**Semalam**
Listrik
didesa tengah padam beberapa hari ini, aku terpaksa berkemas dalam kondisi
penerangan lampu teplok seadanya. Pakde
dan nenekku tampak sesekali memandangiku, yang jelas mereka sudah tahu bahwa esok
pagi aku akan pergi dan menjalani satu babak kehidupan baru dalam sebuah
perjuangan hidup yang orang biasa sebut ‘merantau’.
Baca Juga Serial sebelumnya dengan Judul, Rantau : Sedikit Penjelasan dan Kabar Baik (5)
Pakde hanya berpesan singkat, “ kalau di Palembang nanti ada apa-apa jangan sungkan hubungi pakde ya lan” yang tentu aku jawab dengan anggukan pertanda oke. Sedangkan nenekku tak berpesan apa-apa selain “Hati-hati disana”.
Pakde hanya berpesan singkat, “ kalau di Palembang nanti ada apa-apa jangan sungkan hubungi pakde ya lan” yang tentu aku jawab dengan anggukan pertanda oke. Sedangkan nenekku tak berpesan apa-apa selain “Hati-hati disana”.
Aku
: Mak, besok pagi aku pamitan ke
Palembang ya, Alan sudah dapat kerja di Palembang dan besok tinggal berangkat.
Emak
: Iya, besok naik apa nak? Speedboat apa perahu getek?
Aku
: Kapal Tongkang ma, Speedboat mahal seratus ribu. Kalau tongkang murah cumin 30.000.
Emak
: Berapa lama kalau naik kapal tongkang nak?
Aku
: ya dari habis dzuhur sampai besok subuhnya mak.
Emak
: ya sudah, hati hati, jangan lupa minum antimo dulu, biar gak mabuk laut. Terus
besok kalau sudah sampai SMS emak ya.
Aku
: Iya mak.
Aku
akhiri percakapan via SMS dengan ibuku tersayang. Ibu sempat bertanya mau pamit
sama bapak nggak? Aku jawab, “kapan-kapan saja mak kalau bapak sudah sembuh”. Aku
harus jujur bahwa rasa kecewaku ke bapak belum pudar sama sekali bahkan rasa
perihnya masih sama dengan malam itu. Hufh , andai saja bapak tidak terjerumus
kedalam kubangan barang haram itu tentu hari ini aku sudah duduk manis dibangku
kuliahan. Sebuah pengandaian yang semakin membuat nafas ini sesak seketika.
** Pagi ini **
Pagi
– pagi sekali Indro sudah sampai dirumah pakdeku diantar oleh bapaknya yang
sudah cukup sepuh. Aku sudah mandi,
sudah siap dan sudah berdandan tentunya. Aku berpamitan dengan pakde, nenek,
bukde dan keponakanku yang ada dirumah pakde. Sebuah ceremonial sederhana untuk
melepas kepergianku yang biasa saja.
Kami
bertiga berboncengan menaiki sebuah sepeda motor. Bapaknya Indro didepan, aku
dibelakang dan tentunya si Indro ditengah, harus rela menahan tekanan selama
perjalanan sembari meringis. Sepanjang perjalanan sayup-sayup aku mendengar
bapaknya Indro memberikan wejangan-wejangan pamungkas-nya kepada kami berdua. Intinya
adalah pintar-pintar menjaga prilaku diperantauan dan jangan tergoda hal-hal negatif.
Setibanya
didekat pelabuhan, sekitar pukul 11.00 Wib, kami menunggu didekat rumah makan
nasi padang. Kebetulan pelabuhan ini berada dipusat pasar tradisional didesa
ini, dan kapal tongkang yang kami akan naiki ini adalah kapal yang dagang yang
akan membawa barang2 dagangan para saudagar yang berlalu lalang dari pasar ke
pasar tradisional.
Kapal
dagang? Ya disini tidak ada kapal khusus penumpang, yang ada Cuma speed boat
atau perahu mesin cepat. Jadi penduduk sini umumnya menggunakan speead boat
untuk lalu lalangnya menuju ibu kota provinsi atau tempat lain mengingat
wilayah kecamatan kami merupakan sebuah pulau yang aksesnya hanya bisa ditembus
via kendaraan air. Mungkin helicopter juga bisa, tapi hanya pak bupati dan pak
gubernur saja seingatku yang pernah mendarat di wilayah kami menggunakan ‘kapal
terbang mini’ itu.
“
Ndro, kamu sudah sarapan belum?” tanyaku memecah keheningan ditengah lalu
lalang orang berbelanja dipasar tradisional ini.
“
Udah lan, tadi ibukku nyuruh aku sarapan pagi-pagi sekali, habis sholat subuh
disuruh sarapan, hahahahha” Indro tampak ‘rindu dini’ dengan Ibunya.
“
Wah asyik dong, aku tadi cumin sarapan pisang goring “
“
Oya kita kan nanti lama tuh diatas ‘gethek’(sebutan kapal tongkang) , sampai
besok pagi baru sampai…
“ Iya terus?” tanyaku penasaran dengan kalimat Indro yang sengaja dibuat
menggantung.
“
Kita harus beli bekal nih untuk makan nanti malam sama sarapan besok pagi “
Indro meneruskan.
“
Benar juga ndro, ayok kita beli nasi bungkus. Lauknya dipisah saja biar nanti
malam nggak basi” aku member masukan.
“
Terus sarapan kita besok pagi gimana? Pasti basi dong walaupun dipisah” Indro
bertanya padaku.
“
Iya juga sih, besok pagi kita sarapan roti aja, atau kita beli sarapan dibawah
jembatan ampere biasanya ada ndro” spontan kuberikan solusi atas kegelisahan
Indro.
“
Wah cemerlang Idemu Lan” Indro tampak sumringah.
Alhasil,
dari musyawarah singkat tersebut kami memutuskan untuk membeli dua bungkus nasi
telor dadar dengan lauk dan sayur dipisah. Roti isi srikaya dan isi kelapa
seharga seribu perak tak lupa kami juga beli untuk sarapan esok pagi. Semua persiapan
sudah maksimal, tapi ada yang terlupa,,sebentar aku mencoba mengingatnya.
“
emm, oo iya pesan ibu untuk minum antimo agar aku tak mabuk laut “
Setelah
mengendap-endap mencari tempat yang aman tanpa sepasang matapun menggawasi, aku
mengeluarkan sebutir antimo dari dompetku dan meminumnya. Aneh , kepercayaan
diri bahwa aku tidak akan mabuk laut semakin meningkat setelah minum antimo
ini, ini mungkin yang disebut orang dengan subekti, eh sugesti maksudku.
Kulihat
jam tangan, sudah jam dua belas siang. Sebentar lagi adzan Jumatan ini pikirku.
“
Ndro , kita kemasjid depan yok, ini bentar lagi mau adzan “ Kusenggol Indro
dengan siku sebelah kiriku.
“
Ndro, ayokk “ nampaknya dia tidak mendengarku karena earphone tengah menempel erat ditelinganya.
“
Apa Lan?” dia baru dengar..
“
Ayok ke masjid Indroooooo “ aku mulai jengkel.
“
iya..iya Ayok “ kata Indro sembari melepas earphone-nya.
Setelah
melakukan sholat jumat kami kembali ke ‘tempat mangkal’ awal tadi, di emperan
rumah makan padang. Kulihar jam tangan ternyata sudah hampir jam satu. Rasanya ini
sudah waktunya untuk bergegas ke kapal barang yang akan kami tumpangi.
Aku
dan Indro berjalan dengan penuh keyakinan menuju kapal tongkang Sinar Niaga,
sebuah kapal dagang yang biasa mengangkut barang dagangan ditambah dengan kopra
(hasil olahan kelapa).
Setelah
menyapa satu dua awak kapal, kami berdua mulai mencari tempat ternyaman untuk
pelayaran selama 18 jam perjalanan ini. Maklum namanya kapal barang, bukan
kapal penumpang jadi tidak ada space
atau kursi khusus penumpang. Terpaksalah kami harus nyempil diantara tumpukan barang dan kopra-kopra yang tentu
memiliki aroma yang tak bersahabat.
“
Ndro, kamu udah dapat tempat?” tanyaku pada Indro yang tengah berkeliling
dikapal tongkang Sinar niaga ini.
“
Ini Lan aku dapat dideket jendela, jadi kalau mau muntah tinggal ngeluarin
kepala saja hahahah” jawabnya sambil terkekeh padaku.
“
Wah asik tuh bisa sambil mincing, aku boleh ikut sebelah kamu nggak?” aku coba
melobi nya.
“
Coba aja sini masih muat nggak, kalau muat si hayuuk aja “ dia nampak member lampu
hijau padaku.
“
Alhamdulillah muat Ndro “ ucapku lega.
“
Oke ini batas wilayah mu, dan ini wilayah ku ya Lan “ Indro member garis
Imajinatif untuk membatasi wilayah kami hahhaha.
“
Oke oke, yang lewat batas di Cute’ ya hahahah “ kelakar ku yang disambut tawa
oleh Indro.
Begitulah
kalau kami lagi kumpul, mau di medan seberat apapun selalu ada tawa yang pecah.
Entahlah ketika nanti di Palembang, apakah solidaritas persahabatan ini akan
terus langgeng sampai didunia kerja.
Hari
semakin gelap, kami bersiap menjamak sholat magrib dan Isya. Sebuah sensasi
yang luar biasa melaksanakan sholat diatas atas kapal beratapkan langit dan
bintang-bintang dengan iringan semilir angin malam. Begitu syahdu dan membekas
sensasinya.
Selepas
melakukan sholat kami berdua berdoa dengan khusu’nya. Jelas ini doa yang tidak
main-main karena dipanjatkan oleh dua pemuda dalam hijrah pertamanya.
“
Ndro sudah belum doa-nya, lama banget” aku menyapa Indro yang masih khusuk
berdoa.
“
Belum, bentar lagi Lan. Ganggu aja kamu “ Indro masih sempat menjawab tanya ku
disela sela doanya.
“
hahahah masak doa sambil ngobrol “ aku terpingkal melihat ekspresinya.
Kami
menyempatkan diri untuk menatapi lautan yang gelap tanpa penerangan selain
gilang-gumilang sinat bintang dan sedikit pancaran bulan sabit yang tinggal
sedikit lagi habis tertutup gulita malam.
Angin
malam ini begitu deras menusuk setiap pori-pori kulitku. Aku sudah mengenakan
jaket andalan tapi tetap saja masih terasa dingin. Benar-benar berbeda antara
angin malam didarat dan angin malam dilaut. Untung aku sudah minum antimo, aku
yakin aku tak akan tumbang dalam pelayaran ini hahahaha.
Di
kapal ini ternyata hanya ada 8 orang awak. Seorang nahkoda, 3 orang ABK, kami
berdua sebagai penumpang dan ditambah 2 penumpang lain yaitu seorang bapak dan
anak laki lakinya didalam. “ semoga tidak ada bajak laut jahat “ fikirku dalam
hati.
“
Ndro, makan yok laper nih “ aku
mengagetkan Indro yang tampak menikmati pemandangan malam ini.
“
Ayok, ambil geh lan nasi bungkus kita dibawah “ dia memberiku arahan.
“
Kok aku ?” tanyaku.
“
Terus siapa?” tanya-nya balik.
“
Kamulah Ndro , hahahha”
“
Kok Aku?” dia kembali bertanya.
“
Ya sudah kita suit, yang kalah ambil nasi didalam” aku member jalan tengah.
“
Oke” jawabnya.
“ 1….2….3…., yak aku menang Ndro “ aku berhasil
merengkuh kemenangan dramatis.
“
Oke aku turun “ dia nampak legowo menerima kekalahanya.
“
GPL ya Ndro, hahahaha “ aku meledeknya.
Kami
menikmati santap malam dengan syahdu sekali. Makan malam sederhana dengan lauk
telor dadar serasa ayam bakar. Romantis dan cowok banget-lah kalau aku boleh memberi
tema dinner malam ini.
“
Ndro bangun” aku membangunkan Indro tiba-tiba saja.
“
Kenapa lan, udah sampai Palembang apa?”
“
Belum Ndro, kita ketiduran di atap kapal ini, masuk yok nanti kalah nggelundung kelaut kita “ imbuhku.
“
Hoo iya, dingin juga disini Lan “ Indro mulai bangkit dari tidurnya.
Ilustrasi kapal tongkang yang ditumpangi Alan dan Indro |
Ternyata selepas makan malam dan ngobrol sambil tiduran kami ketiduran. Aku terbangun jam 02.00 wib dini hari karena dingin sekali rasanya. Beruntung kami tidak tercebur dilaut lepas ini, karena atap kapal ini tidak memiliki pengaman sama sekali disekelilingnya.
Kami melanjutkan tidur didalam meskipun harus berdesak-desakan dengan barang muatan dan tentu aroma kelapa kopra yang sangat apek sekali. Duh,,rasanya kalau bukan karena ingin merubah nasib dan semangat juang untuk membahagiakan ibuk aku tentu sudah mundur dari petualangan ini.
Bersambung........
Baca serial rantau gak asik kalau nggak dari Sekuel pertama, silahkan baca sekuel pertama klik link dibawah ini.
Rantau (sekuel I) : Aku harus pergi
0 komentar:
Post a Comment