Tuesday 26 June 2018

Rantau : Pelayaran Satu Malam (6)


Source Picture : pixabay.com


***
Hari ini, hari Jumat 11 Agustus 1999, merupakan hari yang bersejarah. Keputusan besar telah kami ambil untuk berangkat kepulau seberang nun jauh disana. Palembang, kota yang memberikan secercah harapan dari suramnya masa depan pemuda desa yang bermimpi mengenyam pendidikan tinggi namun terhalang oleh faktor ekonomi.

Kejahatan terbesar yang dilakukan oleh pengelola negara adalah membiarkan warganya dikalahkan oleh nasib dan kemiskinan. Indonesia mungkin belum berfikir sejau Brunei atau negara-negara maju lainnya yang menggratiskan semua biaya pendidikan bahkan sampai menggaji warganya. Mereka mungkin negara kaya, tapi aku meyakini bahwa mereka tidak lebih kaya dari Indonesia, sayangnya orang-orang Indonesia yang bermental miskin sehingga perlu terus melakukan korupsi untuk memperkaya dirinya. Ah sudahlah,pemuda desa seperti kami ini bisa apa dengan semua dinamika ini.


**Semalam**

Listrik didesa tengah padam beberapa hari ini, aku terpaksa berkemas dalam kondisi penerangan lampu teplok seadanya. Pakde dan nenekku tampak sesekali memandangiku, yang jelas mereka sudah tahu bahwa esok pagi aku akan pergi dan menjalani satu babak kehidupan baru dalam sebuah perjuangan hidup yang orang biasa sebut ‘merantau’.

Baca Juga Serial sebelumnya dengan Judul, Rantau : Sedikit Penjelasan dan Kabar Baik (5)

Pakde hanya berpesan singkat, “ kalau di Palembang nanti ada apa-apa jangan sungkan hubungi pakde ya lan” yang tentu aku jawab dengan anggukan pertanda oke. Sedangkan nenekku tak berpesan apa-apa selain “Hati-hati disana”.

Kedua orangtuaku? Aku hanya berpamitan pada ibu melalu SMS saja.

Aku :  Mak, besok pagi aku pamitan ke Palembang ya, Alan sudah dapat kerja di Palembang dan besok tinggal berangkat.

Emak : Iya, besok naik apa nak? Speedboat apa perahu getek?

Aku : Kapal Tongkang ma, Speedboat mahal seratus ribu. Kalau tongkang murah cumin 30.000.

Emak : Berapa lama kalau naik kapal tongkang nak?

Aku : ya dari habis dzuhur sampai besok subuhnya mak.

Emak : ya sudah, hati hati, jangan lupa minum antimo dulu, biar gak mabuk laut. Terus besok kalau sudah sampai SMS emak ya.

Aku : Iya mak.

Aku akhiri percakapan via SMS dengan ibuku tersayang. Ibu sempat bertanya mau pamit sama bapak nggak? Aku jawab, “kapan-kapan saja mak kalau bapak sudah sembuh”. Aku harus jujur bahwa rasa kecewaku ke bapak belum pudar sama sekali bahkan rasa perihnya masih sama dengan malam itu. Hufh , andai saja bapak tidak terjerumus kedalam kubangan barang haram itu tentu hari ini aku sudah duduk manis dibangku kuliahan. Sebuah pengandaian yang semakin membuat nafas ini sesak seketika.

** Pagi ini **

Pagi – pagi sekali Indro sudah sampai dirumah pakdeku diantar oleh bapaknya yang sudah cukup sepuh. Aku sudah mandi, sudah siap dan sudah berdandan tentunya. Aku berpamitan dengan pakde, nenek, bukde dan keponakanku yang ada dirumah pakde. Sebuah ceremonial sederhana untuk melepas kepergianku yang biasa saja.

Kami bertiga berboncengan menaiki sebuah sepeda motor. Bapaknya Indro didepan, aku dibelakang dan tentunya si Indro ditengah, harus rela menahan tekanan selama perjalanan sembari meringis. Sepanjang perjalanan sayup-sayup aku mendengar bapaknya Indro memberikan wejangan-wejangan pamungkas-nya kepada kami berdua. Intinya adalah pintar-pintar menjaga prilaku diperantauan dan jangan tergoda hal-hal negatif.

Setibanya didekat pelabuhan, sekitar pukul 11.00 Wib, kami menunggu didekat rumah makan nasi padang. Kebetulan pelabuhan ini berada dipusat pasar tradisional didesa ini, dan kapal tongkang yang kami akan naiki ini adalah kapal yang dagang yang akan membawa barang2 dagangan para saudagar yang berlalu lalang dari pasar ke pasar tradisional.

Kapal dagang? Ya disini tidak ada kapal khusus penumpang, yang ada Cuma speed boat atau perahu mesin cepat. Jadi penduduk sini umumnya menggunakan speead boat untuk lalu lalangnya menuju ibu kota provinsi atau tempat lain mengingat wilayah kecamatan kami merupakan sebuah pulau yang aksesnya hanya bisa ditembus via kendaraan air. Mungkin helicopter juga bisa, tapi hanya pak bupati dan pak gubernur saja seingatku yang pernah mendarat di wilayah kami menggunakan ‘kapal terbang mini’ itu.

“ Ndro, kamu sudah sarapan belum?” tanyaku memecah keheningan ditengah lalu lalang orang berbelanja dipasar tradisional ini.

“ Udah lan, tadi ibukku nyuruh aku sarapan pagi-pagi sekali, habis sholat subuh disuruh sarapan, hahahahha” Indro tampak ‘rindu dini’ dengan Ibunya.

“ Wah asyik dong, aku tadi cumin sarapan pisang goring “

“ Oya kita kan nanti lama tuh diatas ‘gethek’(sebutan kapal tongkang) , sampai besok pagi baru sampai…

“ Iya terus?” tanyaku penasaran dengan kalimat Indro yang sengaja dibuat menggantung.

“ Kita harus beli bekal nih untuk makan nanti malam sama sarapan besok pagi “ Indro meneruskan.

“ Benar juga ndro, ayok kita beli nasi bungkus. Lauknya dipisah saja biar nanti malam nggak basi” aku member masukan.

“ Terus sarapan kita besok pagi gimana? Pasti basi dong walaupun dipisah” Indro bertanya padaku.

“ Iya juga sih, besok pagi kita sarapan roti aja, atau kita beli sarapan dibawah jembatan ampere biasanya ada ndro” spontan kuberikan solusi atas kegelisahan Indro.

“ Wah cemerlang Idemu Lan” Indro tampak sumringah.

Alhasil, dari musyawarah singkat tersebut kami memutuskan untuk membeli dua bungkus nasi telor dadar dengan lauk dan sayur dipisah. Roti isi srikaya dan isi kelapa seharga seribu perak tak lupa kami juga beli untuk sarapan esok pagi. Semua persiapan sudah maksimal, tapi ada yang terlupa,,sebentar aku mencoba mengingatnya.

“ emm, oo iya pesan ibu untuk minum antimo agar aku tak mabuk laut “

Setelah mengendap-endap mencari tempat yang aman tanpa sepasang matapun menggawasi, aku mengeluarkan sebutir antimo dari dompetku dan meminumnya. Aneh , kepercayaan diri bahwa aku tidak akan mabuk laut semakin meningkat setelah minum antimo ini, ini mungkin yang disebut orang dengan subekti, eh sugesti maksudku.

Kulihat jam tangan, sudah jam dua belas siang. Sebentar lagi adzan Jumatan ini pikirku.

“ Ndro , kita kemasjid depan yok, ini bentar lagi mau adzan “ Kusenggol Indro dengan siku sebelah kiriku.

“ Ndro, ayokk “ nampaknya dia tidak mendengarku karena earphone tengah menempel erat ditelinganya.

“ Apa Lan?” dia baru dengar..

“ Ayok ke masjid Indroooooo “ aku mulai jengkel.

“ iya..iya Ayok “ kata Indro sembari melepas earphone-nya.

Setelah melakukan sholat jumat kami kembali ke ‘tempat mangkal’ awal tadi, di emperan rumah makan padang. Kulihar jam tangan ternyata sudah hampir jam satu. Rasanya ini sudah waktunya untuk bergegas ke kapal barang yang akan kami tumpangi.

Aku dan Indro berjalan dengan penuh keyakinan menuju kapal tongkang Sinar Niaga, sebuah kapal dagang yang biasa mengangkut barang dagangan ditambah dengan kopra (hasil olahan kelapa).

Setelah menyapa satu dua awak kapal, kami berdua mulai mencari tempat ternyaman untuk pelayaran selama 18 jam perjalanan ini. Maklum namanya kapal barang, bukan kapal penumpang jadi tidak ada space atau kursi khusus penumpang. Terpaksalah kami harus nyempil diantara tumpukan barang dan kopra-kopra yang tentu memiliki aroma yang tak bersahabat.

“ Ndro, kamu udah dapat tempat?” tanyaku pada Indro yang tengah berkeliling dikapal tongkang Sinar niaga ini.
“ Ini Lan aku dapat dideket jendela, jadi kalau mau muntah tinggal ngeluarin kepala saja hahahah” jawabnya sambil terkekeh padaku.

“ Wah asik tuh bisa sambil mincing, aku boleh ikut sebelah kamu nggak?” aku coba melobi nya.

“ Coba aja sini masih muat nggak, kalau muat si hayuuk aja “ dia nampak member lampu hijau padaku.

“ Alhamdulillah muat Ndro “ ucapku lega.

“ Oke ini batas wilayah mu, dan ini wilayah ku ya Lan “ Indro member garis Imajinatif untuk membatasi wilayah kami hahhaha.

“ Oke oke, yang lewat batas di Cute’ ya hahahah “ kelakar ku yang disambut tawa oleh Indro.
Begitulah kalau kami lagi kumpul, mau di medan seberat apapun selalu ada tawa yang pecah. Entahlah ketika nanti di Palembang, apakah solidaritas persahabatan ini akan terus langgeng sampai didunia kerja.

Hari semakin gelap, kami bersiap menjamak sholat magrib dan Isya. Sebuah sensasi yang luar biasa melaksanakan sholat diatas atas kapal beratapkan langit dan bintang-bintang dengan iringan semilir angin malam. Begitu syahdu dan membekas sensasinya.

Selepas melakukan sholat kami berdua berdoa dengan khusu’nya. Jelas ini doa yang tidak main-main karena dipanjatkan oleh dua pemuda dalam hijrah pertamanya.

“ Ndro sudah belum doa-nya, lama banget” aku menyapa Indro yang masih khusuk berdoa.

“ Belum, bentar lagi Lan. Ganggu aja kamu “ Indro masih sempat menjawab tanya ku disela sela doanya.

“ hahahah masak doa sambil ngobrol “ aku terpingkal melihat ekspresinya.

Kami menyempatkan diri untuk menatapi lautan yang gelap tanpa penerangan selain gilang-gumilang sinat bintang dan sedikit pancaran bulan sabit yang tinggal sedikit lagi habis tertutup gulita malam.

Angin malam ini begitu deras menusuk setiap pori-pori kulitku. Aku sudah mengenakan jaket andalan tapi tetap saja masih terasa dingin. Benar-benar berbeda antara angin malam didarat dan angin malam dilaut. Untung aku sudah minum antimo, aku yakin aku tak akan tumbang dalam pelayaran ini hahahaha.

Di kapal ini ternyata hanya ada 8 orang awak. Seorang nahkoda, 3 orang ABK, kami berdua sebagai penumpang dan ditambah 2 penumpang lain yaitu seorang bapak dan anak laki lakinya didalam. “ semoga tidak ada bajak laut jahat “ fikirku dalam hati.

“ Ndro, makan yok laper nih “  aku mengagetkan Indro yang tampak menikmati pemandangan malam ini.

“ Ayok, ambil geh lan nasi bungkus kita dibawah “ dia memberiku arahan.

“ Kok aku ?” tanyaku.

“ Terus siapa?” tanya-nya balik.

“ Kamulah Ndro , hahahha”

“ Kok Aku?” dia kembali bertanya.

“ Ya sudah kita suit, yang kalah ambil nasi didalam” aku member jalan tengah.

“ Oke”  jawabnya.

“  1….2….3…., yak aku menang Ndro “ aku berhasil merengkuh kemenangan dramatis.

“ Oke aku turun “ dia nampak legowo menerima kekalahanya.

“ GPL ya Ndro, hahahaha “ aku meledeknya.

Kami menikmati santap malam dengan syahdu sekali. Makan malam sederhana dengan lauk telor dadar serasa ayam bakar. Romantis dan cowok banget-lah kalau aku boleh memberi tema dinner malam ini.

“ Ndro bangun” aku membangunkan Indro tiba-tiba saja.

“ Kenapa lan, udah sampai Palembang apa?”

“ Belum Ndro, kita ketiduran di atap kapal ini, masuk yok nanti kalah nggelundung kelaut kita “ imbuhku.

“ Hoo iya, dingin juga disini Lan “ Indro mulai bangkit dari tidurnya.

Hasil gambar untuk kapal tongkang di bawah ampera
Ilustrasi kapal tongkang yang ditumpangi Alan dan Indro

Ternyata selepas makan malam dan ngobrol sambil tiduran kami ketiduran. Aku terbangun jam 02.00 wib dini hari karena dingin sekali rasanya. Beruntung kami tidak tercebur dilaut lepas ini, karena atap kapal ini tidak memiliki pengaman sama sekali disekelilingnya.

Kami melanjutkan tidur didalam meskipun harus berdesak-desakan dengan barang muatan dan tentu aroma kelapa kopra yang sangat apek  sekali. Duh,,rasanya kalau bukan karena ingin merubah nasib dan semangat juang untuk membahagiakan ibuk aku tentu sudah mundur dari petualangan ini.

Bersambung........

Baca serial rantau gak asik kalau nggak dari Sekuel pertama, silahkan baca sekuel pertama klik link dibawah ini.
Rantau (sekuel I) : Aku harus pergi
Share:

0 komentar:

Post a Comment