Source image : kathleen |
Selesai melaksanakan
sholat kami pun duduk disebuah batang pohon yang tumbang. Menikmati semilir
angin persawahan yang rimbun dengan pepohonan kelapa. Indro mengajakku makan
siang bersama, ia membawa dua bungkus bekal nasi dengan lauk seadannya tapi
rasa restoran bintang 5, bukan tentang menu tapi tentang dimana hidangan
sederhana ini dimakan. Allahuakbar nikmat sekali batinku , merasakan makan siang
diantara sajak-sajak alam yang merayu untuk terus disyukuri.
Aku dan Indro adalah
sahabat karib sejak lama. Ia temanku ketika SMP dulu. Kami hanya tidak bernasib
saja untuk menghabiskan masa SMA bersama. Dia tetap melanjutkan SMA didesa ini
dan aku harus ikut orang tua pindah ke kabupaten lain nun jauh disana.
Singkat cerita,
setelah lulus SMA kami memiliki nasib yang sama : tidak bisa melanjutkan
pendidikan ke Perguruan tinggi karena masalah biaya. Dalam sebuah settingan yang maha kuasa kami saling member kabar,
menceritakan kegelisahan masing-masing dan jadilah sebuah manivesto cita-cita bersama
yaitu mengisi satu tahun kekosongan ini untuk bekerja dan mengumpulkan modal
untuk kuliah ditahun depan.
Bagi kami, masalah
pendidikan ini sangat penting dan sulit dipercaya bahwa generasi-generasi
bangsa berpotensi seperti kami berdua harus tergerus arus industrialisasi
pendidikan dan terkapar tak berdaya terkalahakan oleh sebuah istilah yang lazim
disebut dengan kemiskinan. Pertemuan visi jangka panjang inilah yang pada
akhirnya membuat Indro dan aku membulatkan tekat untuk bekerja dikota.
Inspirasi untuk
mendapat pekerjaan dikota ini tentu bukan hal singkat yang kami berdua
diskusikan. Kami menghabiskan malam berdua hingga fajar tiba, hanya untuk
membicarakan prihal kenekatan ini. Yang pada akhirnya kami sepakat bahwa kami
harus merantau , bekerja, mendapat pengalaman, mendapat uang, uang terkumpul
dan mendaftar kuliah. Sesederhana itu.
Hingga akhirnya
sembari menunggu informasi lowongan kerja itu tiba, dan untuk mengisi masa
kekosongan aku dan indro akan sedikit melatih otot dan mengumpulkan uang-uang
receh untuk ongkos kami kekota, caranya? Ya salah satunya dengan kerjaan kami
hari ini, memetik kelapa.
“ Tenoneng, tenoneng,
tenoneng teng teng… Tenoneng, tenoneng, tenoneng teng teng… “ Bro Hape mu bunyi
tuh, ada yang nelpon kayaknya.
“ Hp Kamu kalik ndro “
sahutku sembari mencuci tangan di sumur kecil.
“ Hp ku kan udah
ngedrop dari tadi bro, udah angkat cepet gih siapa tuh penting “ Indro tampak
tak sabaran.
“ Iya ya..” aku
berlari mendekat pada sumber suara seketika itu juga.
“ Halo Assalamu’alaikum
“ ku angkat telepon dengan penuh tanda tanya, karena nomor yang menelepon belum
tersimpan.
“ Iya halo, ini Alan
anaknya Kang Bahar ya?” orang diseberang sana tampak mengenal bapakku.
“ Iya Pak, ini siapa
ya?” tanyaku penuh penasaran.
“ Ini mang Dilan lan,
bapakmu kemarin malam nelpon mamang “ Mang
dilan mulai membuka arah pembicaraan.
“ Ngomong apa bapak
mang?”
“ Itu, dia bilang kamu
lagi cari kerjaan dikota” mang dilan menjelaskan peralahan.
“ Mamang ada kenalan
teman di Palembang lan, bos toko sepatu dia mah disana”
“ Wah, beneran ini
mang?” aku menemukan seberkas semangat baru dari percakapan yang kuanggap
membosankan ini.
“ Iya, dia punya toko
sepatu didaerah Plaju, tepatnya di Silaberanti butuh dua orang buat jaga toko
sepatunya “ mang dilan semakin lancer menjelaskan hal yang memang aku ingin
dengarkan.
“ Kira – kira upahnya
gimana mang sistemnya?” aku mencoba memastikan.
“ Yah kalau kalian mau nanti kalian berdua tinggalnya di
toko itu, jadi gak perlu nyewa kost-an lagi, masalah upah sekitar Rp.
700.000-an perorang katanya.
“ Wah lumayan itu
mang, ya udah aku mau rundingan dulu
sama temenku si Indro, kalau dia cocok nanti aku telpon mang Dilan secepatnya “
“ Iya lan, mamang
tunggu segera ya, soalnya kalau kamu nggak mau , mamang diminta segera cari
orang lain ini kata bos “ mang Dilan nampak mengisyaratkan agar kami berdua
segera membuat keputusan.
“ Oke mang “ tutupku.
Aku menarik nafas
sejenak , beberapa detik menenangkan diri dan bergegas mengham[iri Indro yang
tengah asyik merapikan kelapa-kelapa
yang maasih berantakan. Secara logis sih Indro gak mungkin langsung menerima
tawaran ini, karena gajinya yang jelas terlalu tipis.
“ Ndro, barusan ada
orang nawarin kerjaan “ aku membuka percakapan tentang hidup dan matinya sebuah
mimpi untuk merantau ini.
“ Kerjaan apa bro,
dimana?” Indro nampak tak sabar untuk segera mengorek informasi dari ku.
“ Iya sabar ndro, ini
kerjanya jaga toko sepatu di Plaju, kota Palembang ndro “ aku menjawab rasa
penasarannya.
“ Berapa bro
bulanannya?” Indro kembali bertanya
“ 700 bro, tapi kita
dikasih tempat nginep gratis “ jawabku singkat.
“ Dibayarin kost-an
bro maksud loh ?”
“ Yah enggak bro, kita
tidur ditokonya “
“ itu mah bukan nginep
gratis bro, tapi kita disuruh jaga malam ditoko itu “ Indro tampak melakukan
protes ringan.
“ Iya sih ndro, tapi
gimana lagi kita toh lagi butuh kerjaan juga kan?” aku mencoba memainkan sisi
pragmatis Indro.
“ Iya bro, tapi kita
juga kalau bisa jangan sampai rugi-rugi bangetlah, itu 700.000an kan kotor tuh,
kita makan sama kebutuhan ini itu masih dari duit itu juga, abislah ndro gak
dapat apa-apa kita “ Indro mengajakku berfikir keras kali ini.
“ Hmm, gini aja kita
terima aja pekerjaan ini sebagai batu loncatan sembari kita cari pekerjaan yang
lebih baik pas di kota nanti “ aku menemukan jalan tengah perdebatan kami.
“ Emm kayaknya ana benere omonganmu bro “ Indro
akhirnya menerima usulan ku.
Bersambung.........
0 komentar:
Post a Comment