Sunday, 26 July 2020

Mengeja Persahabatan di Era Kepentingan

Source : funnyclub.net/having-a-best-friend/
Source : funnyclub.net/having-a-best-friend

Pertengahan bulan Juni lalu, saya bertemu teman saya sewaktu kuliah S1 dulu di Palembang. Pertemuan kami ini sudah lama sebenarnya direncanakan karena akan membahas beberapa urusan bisnis.  Sayangnya karena wabah Corona ini kepulangan saya dari Kalimantan harus mengalami beberapa kali penundaan,

Singkat cerita, kami bertemu disebuah peristirahatan tidak  jauh dari pusat perbelanjaan yang ada dikota Palembang . tidak tanggung-tanggung kami memesan tempat ini untuk berdiskusi penuh selama dua hari dua malam. Sebab sepenuhnya kami  berdua memahami waktu ini akan begitu singkat dan akan semakin singkat karena dihari yang akan datang semua akan larut dalam kesibukan masing-masing.

Singkat cerita, pukul 19.00 Wib, diskusi kami buka setelah menyantap dua bungkus nasi pecel lele dengan tamabahan nasi ekstra tentunya. Teman saya membuka diskusi tentang perkembangan investasi kolam lele yang dua bulan lalu saya ikut menanam modal disana.

Diskusi terus berlanjut ke tema-tema ringan seputar kabar masing-masing dan rencana hidup kedepan. Pukul 21.00 Wib,  saya mulai mengeluarkan buku dan pena dari tas ransel yang saya bawa, ini menandakan diskusi akan beralih ketopik serius yang akan menguap begitu saja kalau tidak dicatat hasil pembahasanya.

Pukul 23.45 Wib, nampaknya konsentrasi membahas tema berat sudah tidak relevan lagi dilakukan. 4 lembar hasil bahasan malam ini menjadi sebuah dokumen berharga yang tentu kami hasilkan dari perdebatan sengit . Sebenarnya foreplay  pembahasan  ini sudah dilakukan beberapa bulan lalu via telpon ketika saya masih berada di Kalimantan, mala mini hanya membahas turunannya saja. Tapi tetap menguras waktu, tenaga dan emosi tentunya. Untung kami sudah lama kenal, jadi hal – hal semcam ini sudah tidak lagi masuk keranah perasaan.

Hari belanjut sampai 48 jam kemudian. Dua hari -  dua malam berekpektasi untuk membahas secara serius semuanya sampai tuntas, ternyata realitanya justru jalan-jalan pakai motor butut, wisata kuliner, nge-mall, sampai waktu habis dan saya harus check-out.

Dipercakapan terakhir sebelum kami berpisah, kami baru sadar kalau waktu dua hari memang waktu yang sangat singkat, terasa lebih singkat karena kami bertemu bukan untuk urusan bisnis murni.

Teman – teman mungkin biasa mendengar dan melihat bahwa rapat-rapat penting membahas sebuah proyek atau bisnis biasanya tidak lebih dari 3 jam. Rapat organisasi, rapat perusahaan dan rapat-rapat di aspek professional lainya akan memakan waktu yang singkat, padat dan focus pada kepentingan yang sudah tertarget sedari awal.

Sebuah era baru dalam memaknai pertemuan dan pembicaraan. Kita memasuki era dimana sudah jarang bisa bertemu dengan teman-teman untuk sekdar berbicara omong kosong dan menertawakan hidup bersama. Ini eranya kalau ketemu harus ada kepentingan, harus ada ­output , harus produktif, time is money.

Enggak sepenuhnya salah juga menurut saya, karena usia-usia pasca pendidikan menengah atas dan tinggi  memang lebih faedah kalau diisi dengan agenda-agenda yang menghasilkan. Tapi ya sumpek juga dunia ini ya kalau semuanya harus ada kepentingan, hingga muncul  anekdot yang menyindir masyarakat tentang prilaku sosial yang dibumbui kepentingan misalnya, Jarang chat, sekali chat mau minjem duit, jarang nongol sekalinya nongol ada maunya,  dan satir-satir lain yang mengkritik pola pergaulan masyarakat kebanyakan dewasa ini.

Saya sepakat bahwa sedikit banyak ini adalah efek dari pandemi. Orang-orang mengikuti anjuran Social distancing  sehingga sosialnya memang benar-benar berjarak. Dari berbagai sumber sepakat bahwa pandemi ini membawa dampak disektor ekonomi. Sehingga banyak orang mengalami kesulitan perekonomian. Disisi lain pemerintah melakukan pembatasan sosial yang secara langsung terus memupuk keterpurukan ekonomi itu sendiri. Masyarakat punya mindset  tidak keluar rumah kalau tidak penting-penting amat. Sehingga ketika diera ini cuan adalah unsur yang dianggap paling penting, maka masyarakat hanya akan berinteraksi , keluar rumah, ketemuan dengan teman dan interaksi sosial lainya ketika ada ‘hasilnya’   ketika ada cuan-nya.

Menurut saya ini adalah hal yang keliru, bukan motif kepentingan yang mendatangkan rezeki tapi silaturahmi yang mendatangkan rezeki.

Barangsiapa yang suka diluaskan rizkinya dan ditangguhkan kematiannya, hendaklah ia menyambung silaturahim[Shahiih Al-Bukhaariy no. 2067].

Jadi sebaiknya kita tetap menjadi professional yang memiliki banyak jaringan pertemanan. Dan model hubungan seperti ini tidak akan tercapai jika seseorang tidak mampu memisahkan kapan saatnya berbisnis dan kapan saatnya berteman. Karena mencampur-adukan keduanya akan merusak bisnis menjadi tidak professional dan akan merusak pertemanan menjadi serba materialistik.


Pulau Rimau, 2020

Share:

0 komentar:

Post a Comment