Thursday 7 June 2018

Rantau : Sedikit Penjelasan dan Kabar Baik (5)

Gambar terkait
Source image : kathleen

Selesai melaksanakan sholat kami pun duduk disebuah batang pohon yang tumbang. Menikmati semilir angin persawahan yang rimbun dengan pepohonan kelapa. Indro mengajakku makan siang bersama, ia membawa dua bungkus bekal nasi dengan lauk seadannya tapi rasa restoran bintang 5, bukan tentang menu tapi tentang dimana hidangan sederhana ini dimakan. Allahuakbar  nikmat sekali batinku , merasakan makan siang diantara sajak-sajak alam yang merayu untuk terus disyukuri.

Aku dan Indro adalah sahabat karib sejak lama. Ia temanku ketika SMP dulu. Kami hanya tidak bernasib saja untuk menghabiskan masa SMA bersama. Dia tetap melanjutkan SMA didesa ini dan aku harus ikut orang tua pindah ke kabupaten lain nun jauh disana.

Singkat cerita, setelah lulus SMA kami memiliki nasib yang sama : tidak bisa melanjutkan pendidikan ke Perguruan tinggi karena masalah biaya. Dalam sebuah settingan  yang maha kuasa kami saling member kabar, menceritakan kegelisahan masing-masing dan jadilah sebuah manivesto cita-cita bersama yaitu mengisi satu tahun kekosongan ini untuk bekerja dan mengumpulkan modal untuk kuliah ditahun depan.


Bagi kami, masalah pendidikan ini sangat penting dan sulit dipercaya bahwa generasi-generasi bangsa berpotensi seperti kami berdua harus tergerus arus industrialisasi pendidikan dan terkapar tak berdaya terkalahakan oleh sebuah istilah yang lazim disebut dengan kemiskinan. Pertemuan visi jangka panjang inilah yang pada akhirnya membuat Indro dan aku membulatkan tekat untuk bekerja dikota.

Inspirasi untuk mendapat pekerjaan dikota ini tentu bukan hal singkat yang kami berdua diskusikan. Kami menghabiskan malam berdua hingga fajar tiba, hanya untuk membicarakan prihal kenekatan ini. Yang pada akhirnya kami sepakat bahwa kami harus merantau , bekerja, mendapat pengalaman, mendapat uang, uang terkumpul dan mendaftar kuliah. Sesederhana itu.

Hingga akhirnya sembari menunggu informasi lowongan kerja itu tiba, dan untuk mengisi masa kekosongan aku dan indro akan sedikit melatih otot dan mengumpulkan uang-uang receh untuk ongkos kami kekota, caranya? Ya salah satunya dengan kerjaan kami hari ini, memetik kelapa.

“ Tenoneng, tenoneng, tenoneng teng teng… Tenoneng, tenoneng, tenoneng teng teng… “ Bro Hape mu bunyi tuh, ada yang nelpon kayaknya.

“ Hp Kamu kalik ndro “ sahutku sembari mencuci tangan di sumur kecil.

“ Hp ku kan udah ngedrop dari tadi bro, udah angkat cepet gih siapa tuh penting “ Indro tampak tak sabaran.

“ Iya ya..” aku berlari mendekat pada sumber suara seketika itu juga.

“ Halo Assalamu’alaikum “ ku angkat telepon dengan penuh tanda tanya, karena nomor yang menelepon belum tersimpan.

“ Iya halo, ini Alan anaknya Kang Bahar ya?” orang diseberang sana tampak mengenal bapakku.

“ Iya Pak, ini siapa ya?” tanyaku penuh penasaran.

“ Ini mang Dilan lan, bapakmu kemarin malam nelpon mamang “ Mang  dilan mulai membuka arah pembicaraan.

“ Ngomong apa bapak mang?”

“ Itu, dia bilang kamu lagi cari kerjaan dikota” mang dilan menjelaskan peralahan.

“ Mamang ada kenalan teman di Palembang lan, bos toko sepatu dia mah disana”

“ Wah, beneran ini mang?” aku menemukan seberkas semangat baru dari percakapan yang kuanggap membosankan ini.

“ Iya, dia punya toko sepatu didaerah Plaju, tepatnya di Silaberanti butuh dua orang buat jaga toko sepatunya “ mang dilan semakin lancer menjelaskan hal yang memang aku ingin dengarkan.

“ Kira – kira upahnya gimana mang sistemnya?” aku mencoba memastikan.

“ Yah kalau  kalian mau nanti kalian berdua tinggalnya di toko itu, jadi gak perlu nyewa kost-an lagi, masalah upah sekitar Rp. 700.000-an perorang katanya.

“ Wah lumayan itu mang, ya udah aku mau rundingan dulu sama temenku si Indro, kalau dia cocok nanti aku telpon mang Dilan secepatnya “

“ Iya lan, mamang tunggu segera ya, soalnya kalau kamu nggak mau , mamang diminta segera cari orang lain ini kata bos “ mang Dilan nampak mengisyaratkan agar kami berdua segera membuat keputusan.

“ Oke mang “ tutupku.

Aku menarik nafas sejenak , beberapa detik menenangkan diri dan bergegas mengham[iri Indro yang tengah  asyik merapikan kelapa-kelapa yang maasih berantakan. Secara logis sih Indro gak mungkin langsung menerima tawaran ini, karena gajinya yang jelas terlalu tipis.

“ Ndro, barusan ada orang nawarin kerjaan “ aku membuka percakapan tentang hidup dan matinya sebuah mimpi untuk merantau ini.

“ Kerjaan apa bro, dimana?” Indro nampak tak sabar untuk segera mengorek informasi dari ku.

“ Iya sabar ndro, ini kerjanya jaga toko sepatu di Plaju, kota Palembang ndro “ aku menjawab rasa penasarannya.

“ Berapa bro bulanannya?” Indro kembali bertanya

“ 700 bro, tapi kita dikasih tempat nginep gratis “ jawabku singkat.

“ Dibayarin kost-an bro maksud loh ?”

“ Yah enggak bro, kita tidur ditokonya “

“ itu mah bukan nginep gratis bro, tapi kita disuruh jaga malam ditoko itu “ Indro tampak melakukan protes ringan.

“ Iya sih ndro, tapi gimana lagi kita toh lagi butuh kerjaan juga kan?” aku mencoba memainkan sisi pragmatis Indro.

“ Iya bro, tapi kita juga kalau bisa jangan sampai rugi-rugi bangetlah, itu 700.000an kan kotor tuh, kita makan sama kebutuhan ini itu masih dari duit itu juga, abislah ndro gak dapat apa-apa kita “ Indro mengajakku berfikir keras kali ini.

“ Hmm, gini aja kita terima aja pekerjaan ini sebagai batu loncatan sembari kita cari pekerjaan yang lebih baik pas di kota nanti “ aku menemukan jalan tengah perdebatan kami.

“ Emm kayaknya ana benere omonganmu bro “ Indro akhirnya menerima usulan ku.

Bersambung.........

Share:

0 komentar:

Post a Comment