Tuesday, 5 December 2017

Mahasiswa Dan Pesan Lama Untuknya

Budi Yang Takkan Terbalas
Semua bermula ketika belanda melancarkan program politik etis, sebuah cara untuk meraih kembali simpati rakyat yang telah dijajah 300 tahun lebih. Menanggapi situasi yang berkembang pada awal abad ke-20, Ratu Belanda dalam pidato tahun 1901 menyatakan bahwa Negeri Belanda mempunyai kewajiban untuk mengusahakan kemakmuran serta perkembangan social dan otonomi dari pendudukHindia. Oleh karena itu, Belanda melakukan politik balas budi (politik etis) kepada rakyat Indonesia, yang dimulai dengan memberikan bantuan sebesar 40 juta gulden.

Van Deventer, pada tahun 1899 dalam artikelnya pada majalah De Gidsberjudul Een Eereschuld (hutang kehormatan) menuliskan bahwa jutaan gulden yang diperoleh dari Indonesia sebagai Hutang Kehormatan. Pembayaran hutang tersebut dapat dilakukan dengan tiga cara, yang dikenal dengan Trilogi Van Deventer, yaitu.
a. Irigrasi (pengairan),
b. Emigrasi (perpindahan penduduk), dan
c. Edukasi (pendidikan).
 
Kemiskinan dan kebodohan adalah masalah yang cukup sulit dientaskan dari masa ke masa
Ya, Politik balas budi ini memasukan pendidikan kedalam salah satu programnya.  Banyak sekolah-sekolah yang didirikan, sampai kemudian pada jenjang perguruan tinggi.

Di buku-buku sejarah kita mengenal STOVIA (School tot Opleiding van Indische Artsen) Sekolah Pendidikan Dokter Bumiputera yang pada akhrinya menjadi kawah candradimuka yang banyak melahirkan tokoh-tokoh pergerakan generasi awal sebut saja Tjipto Mangungkusumo, Wahidin Soedirohusodo, dan Dr. Sutomo.

Menyusul sekolah tinggi- sekolah tinggi lain yang bermunculan pada periode selanjutnya menjadi awal kebangkitan intelektual bangsa ini. Pada akhirnya diakui ataupun tidak Belanda bisa jadi telah menciptakan bumerang-bumerangnya sendiri melalui politik balas budi ini.
Boedi Utomo Didirikan oleh Mahasiswa-mahasiswa STOVIA
Bertebaranya perguruan-perguruan tinggi di Indonesia yang subur bak cendawan di musim hujan kemudian mulai menjadikan sebuah predikat perlahan tapi pasti mulai populer. Ya istilah mahasiswa menjadi predikat yang kemudian disematkan pada anak-anak konglomerat, darah biru, tokek atau anak para saudagar kaya yang punya cukup modal untuk menyekolahkan anaknya ke jenjang perguruan tinggi.

Siklus Balik Kebodohan Dan Kemiskinan
Dulu untuk bisa berkuliah setidaknya ada dua pihak yang harus berkeinginan untuk itu. Pertama sang anak sendiri sebagai pelaku utama, pengambil manfaat langsung dan penerima resiko dilapangan. Kedua adalah orang tua selaku penanggung jawab dan pemilik modal.

Untuk merasionalkan niatan mengecap perguruan tinggi, anak dan orang tua dimasa lampau harus kaya dan sadar. Biaya yang cukup mahal, tempat tinggal, ongkos perjalanan dan biaya hidup adalah cost terbesar yang harus dikeluarkan. Lalu kenapa harus sadar?
Kemiskinan dan Kebodohan adalah dua hal berbeda yang saling mempengaruhi
Kesadaran atas pentingnya pendidikan masih sangat rendah dimasa kolonialisme sampai pada masa mendekati kemerdekaan. Hal ini dapat dilihat dari sedikitnya tokoh terdidik yang mengenyam pedidikan sampai ke sekolah tinggi, mirisnya untuk jenjang yang lebih rendahpun masyarakat pada waktu itu ‘ogah-ogahan’ dalam menyekolahkan anaknya.

Dominasi kalangan priyai dibangku-bangku sekolah yang didirikan oleh belanda menunjukan bahwa ada korelasi antara ekonomi dengan kemapanan berfikir yang pada akhirnya nanti ini menjadi sebuah siklus pusaran kebodohan.

Orang – orang kaya yang pergaulanya terbuka akan cenderung memiliki kesadaran bahwa pendidikan itu hal yang penting dan berpengaruh terhadap masa depan anaknya, sehingga mereka akan sadar dan mengusahakan pendidikan anaknya dengan sebaik-baiknya. Lalu anak yang berpendidikan itu akan memiliki modal yang baik dalam membangun ekonominya sehingga dia menjadi generasi kaya yang juga akan memberikan pendidikan terbaik untuk anaknya.

Sedangkan anak para buruh dan tani pada waktu itu tidak menjadikan pendidikan anak sebagai prioritas karena nyatanya kebutuhan pokok (sandang, pangan, dan papan) mereka saja sulit terpenuhi secara maksimal. Tidak ada cara lain selain memperbantukan anak mereka untuk ikut menyokong perekonomian keluarga. Lalu siklus pusaran kebodohan dan kemiskinan akan terjadi dimana sang anak yang dibesarkan dengan pendidikan formal seadanya hanya mampu membangun ekonomi keluarga yang pas-pasan dikemudian hari. Siklus ini akan terjadi berulang selama tidak ada generasi pemutus mata rantai iyang memulai untuk sadar pendidikan.
 

Anak Tukang Becak Kuliah ke Inggris Kini Jadi Panutan Mahasiswa Unnes (Unnes Doc)

Hari ini ketika siklus itu tidak lagi berlaku secara keseluruhan dengan banyaknya mahasiswa dari kalangan keluarga kurang berada, apakah esensi kesyukuran itu terpancar dari anak-anak muda yang mengaku mahasiswa itu dengan karya-karya dan optimalisasi pencarian jati diri selama dikampus? Ataukah ada benang merah awal yang salah dalam niatan pertama mahasiswa-mahasiswa ini melangkahkan kakinya dikampus?

Harapan Yang Tak Sepenuhnya Sirna
Mendekati detik-detik tumbangnya orde Soeharto, mahasiswa memberikan sebuah harapan baru pada bangsa ini dengan narasi-narasi idealisme perbaikanya. Benih –  benih jati diri mahasiswa muncul pada masa-masa ini.

Masyarakat mulai memiliki poros baru yang berani dan mampu menyampaikan jeritan-jeritan yang tak terdengar, tangisan-tangisan yang tersembunyi di pelosok-pelosok negeri dan cerita pilu kemiskinan yang terabaikan. Harapan itu ada dan belum sepenuhnya sirna.

Tumbangnya orde baru kembali memberikan pesan peringatan kepada para diktator negeri bahwa ada golongan yang akan terus mengawal jalanya pengelolaan Negara ini.
Mundurnya Soeharto pasca aksi 1998
Bangsa yang tengah mengalami krisis multidimensional ini merindukan anak-anak muda yang demikian. Pengharapan yang terus terkikis kepada para pengelola negeri yang justru menjadi perampok paling berbahaya diera ini, menjadikan mahasiswa adalah alternatif kekuatan yang pekikan teriaknya di tunggu-tunggu. Bagaimana mahasiswa hari ini memainkan peran nya? Benarkan volume toa-toa itu tak sekeras dulu lagi? Seharusnya harapan itu masih selalu ada.


Penting kemudian bagi generasi muda kembali membuka sejarah, berkontemplasi denganya lalu mencatat kembali pesan-pesan lama rakyat yang belum tertunaikan. Kemisikinan dan kebodohan yang sampai hari ini masih menjadi permasalahan klasik adalah dua diantara banyaknya kehendak bangsa, dan  dipundak mahasiswalah pesan itu ditiitpkan.
Share:

0 komentar:

Post a Comment