Budi
Yang Takkan Terbalas
Semua
bermula ketika belanda melancarkan program politik etis, sebuah cara untuk
meraih kembali simpati rakyat yang telah dijajah 300 tahun lebih. Menanggapi
situasi yang berkembang pada awal abad ke-20, Ratu Belanda dalam pidato tahun
1901 menyatakan bahwa Negeri Belanda mempunyai kewajiban untuk
mengusahakan kemakmuran serta perkembangan social dan otonomi dari
pendudukHindia. Oleh karena itu, Belanda melakukan politik balas budi (politik
etis) kepada rakyat Indonesia, yang dimulai dengan memberikan bantuan sebesar
40 juta gulden.
Van
Deventer, pada tahun 1899 dalam artikelnya pada majalah De Gidsberjudul Een
Eereschuld (hutang kehormatan) menuliskan bahwa jutaan gulden yang
diperoleh dari Indonesia sebagai Hutang Kehormatan. Pembayaran hutang
tersebut dapat dilakukan dengan tiga cara, yang dikenal dengan Trilogi Van
Deventer, yaitu.
a. Irigrasi
(pengairan),
b. Emigrasi
(perpindahan penduduk), dan
c. Edukasi
(pendidikan).
Ya, Politik balas budi ini
memasukan pendidikan kedalam salah satu programnya. Banyak sekolah-sekolah yang didirikan, sampai
kemudian pada jenjang perguruan tinggi.
Di buku-buku sejarah kita
mengenal STOVIA (School tot Opleiding van
Indische Artsen) Sekolah Pendidikan Dokter
Bumiputera yang pada akhrinya menjadi kawah candradimuka yang banyak melahirkan
tokoh-tokoh pergerakan generasi awal sebut saja Tjipto Mangungkusumo, Wahidin
Soedirohusodo, dan Dr. Sutomo.
Menyusul sekolah tinggi- sekolah tinggi lain yang bermunculan
pada periode selanjutnya menjadi awal kebangkitan intelektual bangsa ini. Pada
akhirnya diakui ataupun tidak Belanda bisa jadi telah menciptakan bumerang-bumerangnya
sendiri melalui politik balas budi ini.
Boedi Utomo Didirikan oleh Mahasiswa-mahasiswa STOVIA |
Bertebaranya perguruan-perguruan tinggi di Indonesia yang
subur bak cendawan di musim hujan kemudian mulai menjadikan sebuah predikat perlahan
tapi pasti mulai populer. Ya istilah mahasiswa menjadi predikat yang kemudian
disematkan pada anak-anak konglomerat, darah biru, tokek atau anak para
saudagar kaya yang punya cukup modal untuk menyekolahkan anaknya ke jenjang
perguruan tinggi.
Siklus Balik Kebodohan Dan
Kemiskinan
Dulu untuk bisa berkuliah
setidaknya ada dua pihak yang harus berkeinginan untuk itu. Pertama sang anak
sendiri sebagai pelaku utama, pengambil manfaat langsung dan penerima resiko
dilapangan. Kedua adalah orang tua selaku penanggung jawab dan pemilik modal.
Untuk merasionalkan niatan
mengecap perguruan tinggi, anak dan orang tua dimasa lampau harus kaya dan
sadar. Biaya yang cukup mahal, tempat tinggal, ongkos perjalanan dan biaya
hidup adalah cost terbesar yang harus
dikeluarkan. Lalu kenapa harus sadar?
Kemiskinan dan Kebodohan adalah dua hal berbeda yang saling mempengaruhi |
Kesadaran atas pentingnya
pendidikan masih sangat rendah dimasa kolonialisme sampai pada masa mendekati
kemerdekaan. Hal ini dapat dilihat dari sedikitnya tokoh terdidik yang
mengenyam pedidikan sampai ke sekolah tinggi, mirisnya untuk jenjang yang lebih
rendahpun masyarakat pada waktu itu ‘ogah-ogahan’ dalam menyekolahkan anaknya.
Dominasi kalangan priyai
dibangku-bangku sekolah yang didirikan oleh belanda menunjukan bahwa ada
korelasi antara ekonomi dengan kemapanan berfikir yang pada akhirnya nanti ini
menjadi sebuah siklus pusaran kebodohan.
Orang – orang kaya yang
pergaulanya terbuka akan cenderung memiliki kesadaran bahwa pendidikan itu hal
yang penting dan berpengaruh terhadap masa depan anaknya, sehingga mereka akan
sadar dan mengusahakan pendidikan anaknya dengan sebaik-baiknya. Lalu anak yang
berpendidikan itu akan memiliki modal yang baik dalam membangun ekonominya
sehingga dia menjadi generasi kaya yang juga akan memberikan pendidikan terbaik
untuk anaknya.
Sedangkan anak para buruh dan
tani pada waktu itu tidak menjadikan pendidikan anak sebagai prioritas karena
nyatanya kebutuhan pokok (sandang, pangan, dan papan) mereka saja sulit
terpenuhi secara maksimal. Tidak ada cara lain selain memperbantukan anak
mereka untuk ikut menyokong perekonomian keluarga. Lalu siklus pusaran
kebodohan dan kemiskinan akan terjadi dimana sang anak yang dibesarkan dengan
pendidikan formal seadanya hanya mampu membangun ekonomi keluarga yang pas-pasan
dikemudian hari. Siklus ini akan terjadi berulang selama tidak ada generasi
pemutus mata rantai iyang memulai untuk sadar pendidikan.
Anak Tukang Becak Kuliah ke Inggris Kini Jadi Panutan Mahasiswa Unnes (Unnes Doc)
Hari ini ketika siklus itu
tidak lagi berlaku secara keseluruhan dengan banyaknya mahasiswa dari kalangan
keluarga kurang berada, apakah esensi kesyukuran itu terpancar dari anak-anak
muda yang mengaku mahasiswa itu dengan karya-karya dan optimalisasi pencarian
jati diri selama dikampus? Ataukah ada benang merah awal yang salah dalam
niatan pertama mahasiswa-mahasiswa ini melangkahkan kakinya dikampus?
Harapan
Yang Tak Sepenuhnya Sirna
Mendekati detik-detik
tumbangnya orde Soeharto, mahasiswa memberikan sebuah harapan baru pada bangsa
ini dengan narasi-narasi idealisme perbaikanya. Benih – benih jati diri
mahasiswa muncul pada masa-masa ini.
Masyarakat mulai memiliki
poros baru yang berani dan mampu menyampaikan jeritan-jeritan yang tak
terdengar, tangisan-tangisan yang tersembunyi di pelosok-pelosok negeri dan
cerita pilu kemiskinan yang terabaikan. Harapan itu ada dan belum sepenuhnya
sirna.
Tumbangnya orde baru kembali
memberikan pesan peringatan kepada para diktator negeri bahwa ada golongan yang
akan terus mengawal jalanya pengelolaan Negara ini.
Mundurnya Soeharto pasca aksi 1998 |
Bangsa yang tengah mengalami
krisis multidimensional ini merindukan anak-anak muda yang demikian.
Pengharapan yang terus terkikis kepada para pengelola negeri yang justru
menjadi perampok paling berbahaya diera ini, menjadikan mahasiswa adalah
alternatif kekuatan yang pekikan teriaknya di tunggu-tunggu. Bagaimana
mahasiswa hari ini memainkan peran nya? Benarkan volume toa-toa itu tak sekeras
dulu lagi? Seharusnya harapan itu masih selalu ada.
Penting kemudian bagi
generasi muda kembali membuka sejarah, berkontemplasi denganya lalu mencatat
kembali pesan-pesan lama rakyat yang belum tertunaikan. Kemisikinan dan kebodohan
yang sampai hari ini masih menjadi permasalahan klasik adalah dua diantara
banyaknya kehendak bangsa, dan dipundak
mahasiswalah pesan itu ditiitpkan.
0 komentar:
Post a Comment