Saturday 2 June 2018

Rantau : 12 Jam yang lalu (2)

Cerita Ini merupakan lanjutan dari serial sebelumnya berjudul , Rantau : Aku harus pergi (1)- Klik Disini Jika Ingin Membaca

Gambar terkait
Dua belas dari 24 jam dalam sehariku adalah memikirkanmu, keluargaku
Malam ini aku harus berbicara pada bapak. Kata – kata ini ku ulang ulang beberapa kali sejak selepas sholat ahsar tadi. Darahku sudah sampai di ubun-ubun dan aku tak sanggup lagi menahan semua amarah ini. Meski ini pada bapakku sendiri.

“ Iya, bapakmu memang sudah lama menggunakan barang itu, sampai sekarang masih “ kata seorang teman bapak padaku siang tadi.

Aku hanya termangu dalam kegamangan. Aku berada diantara persimpangan rasa, antara kecewa, tidak percaya dan terkejut habis-habisan.

Baca Juga Serial sebelumnya dengan Judul, Rantau : Aku Harus Pergi (Klik Disini)

“ Om sudah sering ngingetin bapakmu, bahkan oom sudah sering bilang pikirkan kuliah anakmu yang sudah kelas 3 SMA, jangan diteruskan pakai barang ini “ ia menjelaskan dengan lirih , takut ada tetangga lain yang dengar.

Bagai petir disiang bolong, aku berdiri dengan sempoyongan. Niat hati mau ngobrak-abrik rumah tetangga malah hatiku yang hancur berantakan.

Ya , niatku siang ini aku kerumah teman bapakku itu karena aku ingin beri istrinya perhitungan karena telah menjelek-jelekan nama bapakku di lingkungan se-RT. tak tanggung tanggung ia menyebarkan berita kesemua orang bahwa bapak ku tukang main, tukang minum dan pemakai.

Aku yang baru pulang dari menjemput adikku sekolah dikabarkan prihal tersebut oleh Ibuku, sudah barang tentu aku berang. Tak tertahan lagi aku akan obrak-abrik rumah ibu itu dengan semua isinya.
Tapi , apa yang kudapat? 

Kebenaran dan penjelasan suaminya yang tak lain adalah teman bapakku telah menampar aku dan cinta buta ini. Aku sadar, bahwa bapakku yang seorang superhero dan selalu benar dimataku, hari ini telah menjadi sosok yang hancur kredibilitasnya dimataku. Aku kecewa berat.
~°~
“ Mak, bapak sudah pulang belum?”, tanyaku pada ibu sepulang sholat magrib dari musolah didekat rumah.

“ itu , lagi mandi “ Jawab ibu sembari menunjuk ke kamar mandi yang letaknya agak jauh diluar rumah.

“ Oh” Jawabku singkat.

“ Ada apa nan?” Tanya ibu ku mulai kepo.

“ Enggak bu, ada titipan omongan dari teman bapak, nanti habis makan malam aku mau ngobrol sama bapak berdua.

“ Omongan apa?” ibu semakin kepo.

“ Ah, hanya masalah kerjaan, gapapa kok “ jawabku menenangkan Ibu.

Jujur, aku tidak pernah seberdebar malam ini. Detik-detik selama proses menunggu bapak selesai mandi, ia memakai baju sampai menunggunya duduk diruang makan benar-benar berjalan dengan lambat. Aku tak sabar sekaligus takut.

Ya, jujur aku sangat takut dan segan sekali sama bapakku. Delapan belas tahun sejak lahir hampir ia tak pernah marah padaku apalagi kontak fisik, dan hal itulah yang membuatku semakin segan padanya. Dan malam ini misiku cumin satu, aku ingin dia tahu kalau aku tahu. Tentu aku ingin dia tahu kalau aku marah sekali padannya.


Pertanyaanya, apakah aku berani marah sama bapakku? Dan bagaimana aku harus marah. Hufh sudah sejak sore tadi aku menyusun strategi pembicaraan malam ini. Aku harus bisa membuatnya mengaku kalau dia adalah pemakai. Dan yang terpenting aku harus membuatnya berjanji untuk berhenti.

“ Ehm , pak nanti habis makan aku mau ngomong ya” keluar juga suara itu dari mulutku yang kelu ditengah-tengah acara makan malam keluarga kecil kami.

“ Mau ngomong apa nang?” Jawab pria (bapakku) itu dengan santainya.

“ Ngomong penting, nanti sudah makan kita kebelakang ya pak” Ku coba mengerucutkan teknis pembicaraan malam ini.

“ Ngomong disini aja nggak papa “ kata bapakku dengan nada yang ‘gila’ santai banget gitu.

“ Gapapa pak, ini masalah laki-laki kita harus ngomong berdua” aku mulai serius.

“ Mau ngomong apa sih, tumben-tumbenan” Bapak mulai curiga.

“ Pokonya nanti setelah makan Alan tunggu dibelakang “ tutupku dengan agak gugup.

Ku percepat suapan demi suapan nasi yang ada dipiringku. Rasanya hambar sekali semua makanan yang tersedia malam ini. Dihadapan ibu dan adikku yang begitu polos dan tak mencurigai apa-apa aku mencoba bersikap tenang dan menahan emosi.

Malam ini aku selesai makan duluan. Ya maksudku malam malam lain aku juga selalu duluan meskipun aku adalah anggota keluarga yang porsi makannya paling banyak. Malam ini aku menggila, kecepatan makan ku naik mejadi 80 KM perjam. Semua ini karena bapak.

~°~

Aku sudah 5 menit menunggu dibelakang rumah, bapakku yang asem itu belum datang juga. Sudah kusiapkan dua batu bata untuk tempat duduknya , aku cukup duduk diatas sandal jepitku saja. Untuk orang yang sedang emosi, rasanya tempat duduk nggak jadi masalah lagi.

“ Ehm..ehm”, sesosok pria dengan menenteng sebatang rokok berjalan mendekatiku.

Aku mulai gemetaran, tapi kutahan. Dalam perang malam ini aku harus menang sekalipun lawaanya adalah bapakku sendiri.

“ Mau ngomong apa nang, kok harus diluar segala?” tanyanya sembari duduk dihadapanku.

“ em,,e anu,,pak “ payah nih, startku gak bagus bagus banget. Aku coba tarik nafas perlahan.

“ Ngobrol didalam lebih enak, gak ada nyamuk” timpalnya segera.

“ Tapi pembicaraan ini rahasia pak, ibu sama adek gak boleh tau” aku mulai to the point.

“ Ya udah ngomonglah “ dia mulai serius pada tahap ini.

Lalu dimulailah introgasi panjang itu. Untungnya aku mampu menjalankan peran sebagai pihal yang terus mengintrogasinya. Aku bermain offensive dan sesekali bapakku terlihat telak tak mampu menjawab.

Bersambung.............
Share:

0 komentar:

Post a Comment