Dua belas dari 24 jam dalam sehariku adalah memikirkanmu, keluargaku |
Malam ini aku harus berbicara pada bapak. Kata –
kata ini ku ulang ulang beberapa kali sejak selepas sholat ahsar tadi. Darahku sudah
sampai di ubun-ubun dan aku tak sanggup lagi menahan semua amarah ini. Meski ini
pada bapakku sendiri.
“ Iya, bapakmu memang sudah lama menggunakan barang
itu, sampai sekarang masih “ kata seorang teman bapak padaku siang tadi.
Aku hanya termangu dalam kegamangan. Aku berada
diantara persimpangan rasa, antara kecewa, tidak percaya dan terkejut
habis-habisan.
Baca Juga Serial sebelumnya dengan Judul, Rantau : Aku Harus Pergi (Klik Disini)
Baca Juga Serial sebelumnya dengan Judul, Rantau : Aku Harus Pergi (Klik Disini)
“ Om sudah sering ngingetin bapakmu, bahkan oom
sudah sering bilang pikirkan kuliah anakmu yang sudah kelas 3 SMA, jangan
diteruskan pakai barang ini “ ia menjelaskan dengan lirih , takut ada tetangga
lain yang dengar.
Bagai petir disiang bolong, aku berdiri dengan
sempoyongan. Niat hati mau ngobrak-abrik rumah tetangga malah hatiku yang
hancur berantakan.
Ya , niatku siang ini aku kerumah teman bapakku
itu karena aku ingin beri istrinya perhitungan karena telah menjelek-jelekan
nama bapakku di lingkungan se-RT. tak tanggung tanggung ia menyebarkan berita
kesemua orang bahwa bapak ku tukang main, tukang minum dan pemakai.
Aku yang baru pulang dari menjemput adikku
sekolah dikabarkan prihal tersebut oleh Ibuku, sudah barang tentu aku berang. Tak
tertahan lagi aku akan obrak-abrik rumah ibu itu dengan semua isinya.
Tapi , apa yang kudapat?
Kebenaran dan penjelasan
suaminya yang tak lain adalah teman bapakku telah menampar aku dan cinta buta
ini. Aku sadar, bahwa bapakku yang seorang superhero dan selalu benar dimataku,
hari ini telah menjadi sosok yang hancur kredibilitasnya dimataku. Aku kecewa
berat.
~°~
“ Mak, bapak sudah pulang belum?”, tanyaku pada
ibu sepulang sholat magrib dari musolah didekat rumah.
“ Oh” Jawabku singkat.
“ Ada apa nan?” Tanya ibu ku mulai kepo.
“ Enggak bu, ada titipan omongan dari teman
bapak, nanti habis makan malam aku mau ngobrol sama bapak berdua.
“ Omongan apa?” ibu semakin kepo.
“ Ah, hanya masalah kerjaan, gapapa kok “ jawabku
menenangkan Ibu.
Jujur, aku tidak pernah seberdebar malam ini. Detik-detik
selama proses menunggu bapak selesai mandi, ia memakai baju sampai menunggunya
duduk diruang makan benar-benar berjalan dengan lambat. Aku tak sabar sekaligus
takut.
Ya, jujur aku sangat takut dan segan sekali sama
bapakku. Delapan belas tahun sejak lahir hampir ia tak pernah marah padaku
apalagi kontak fisik, dan hal itulah yang membuatku semakin segan padanya. Dan malam ini misiku cumin satu, aku ingin dia tahu kalau aku tahu. Tentu aku ingin dia
tahu kalau aku marah sekali padannya.
Pertanyaanya, apakah aku berani marah sama
bapakku? Dan bagaimana aku harus marah. Hufh sudah sejak sore tadi aku menyusun
strategi pembicaraan malam ini. Aku harus bisa membuatnya mengaku kalau dia
adalah pemakai. Dan yang terpenting aku harus membuatnya berjanji untuk
berhenti.
“ Ehm , pak nanti habis makan aku mau ngomong ya”
keluar juga suara itu dari mulutku yang kelu ditengah-tengah acara makan malam
keluarga kecil kami.
“ Mau ngomong apa nang?” Jawab pria (bapakku) itu
dengan santainya.
“ Ngomong penting, nanti sudah makan kita
kebelakang ya pak” Ku coba mengerucutkan teknis pembicaraan malam ini.
“ Ngomong disini aja nggak papa “ kata bapakku
dengan nada yang ‘gila’ santai banget gitu.
“ Gapapa pak, ini masalah laki-laki kita harus
ngomong berdua” aku mulai serius.
“ Mau ngomong apa sih, tumben-tumbenan” Bapak
mulai curiga.
“ Pokonya nanti setelah makan Alan tunggu
dibelakang “ tutupku dengan agak gugup.
Ku percepat suapan demi suapan nasi yang ada
dipiringku. Rasanya hambar sekali semua makanan yang tersedia malam ini. Dihadapan
ibu dan adikku yang begitu polos dan tak mencurigai apa-apa aku mencoba bersikap
tenang dan menahan emosi.
Malam ini aku selesai makan duluan. Ya maksudku
malam malam lain aku juga selalu duluan meskipun aku adalah anggota keluarga
yang porsi makannya paling banyak. Malam ini aku menggila, kecepatan makan ku
naik mejadi 80 KM perjam. Semua ini karena bapak.
~°~
Aku
sudah 5 menit menunggu dibelakang rumah, bapakku yang asem itu belum datang
juga. Sudah kusiapkan dua batu bata untuk tempat duduknya , aku cukup duduk
diatas sandal jepitku saja. Untuk orang yang sedang emosi, rasanya tempat duduk
nggak jadi masalah lagi.
“
Ehm..ehm”, sesosok pria dengan menenteng sebatang rokok berjalan mendekatiku.
Aku
mulai gemetaran, tapi kutahan. Dalam perang malam ini aku harus menang
sekalipun lawaanya adalah bapakku sendiri.
“
Mau ngomong apa nang, kok harus diluar segala?” tanyanya sembari duduk
dihadapanku.
“
em,,e anu,,pak “ payah nih, startku gak bagus bagus banget. Aku coba tarik
nafas perlahan.
“
Ngobrol didalam lebih enak, gak ada nyamuk” timpalnya segera.
“
Tapi pembicaraan ini rahasia pak, ibu sama adek gak boleh tau” aku mulai to the point.
“
Ya udah ngomonglah “ dia mulai serius pada tahap ini.
Lalu
dimulailah introgasi panjang itu. Untungnya aku mampu menjalankan peran sebagai
pihal yang terus mengintrogasinya. Aku bermain offensive dan sesekali bapakku terlihat telak tak mampu menjawab.
Bersambung.............
0 komentar:
Post a Comment