" Kementrian agama untuk kesekian kalinya membuat blunder dengan kebijakan-kebijakanya yang dinilai kurang bijak. Domain keagamaan yang melekat menjadi sebuah penanda bahwa kerukunan, persatuan dan keberagaman menjadi domain dan tanggung jawab dari kementrian ini"
Indonesia adalah negara percontohan dalam menyikapi
keberagaman yang menjdi takdir tak terelakkan bagi negeri ini. Kedewasaan
masyarakat dinegeri ini yang mengedepankan toleransi dan welas asih antar
sesama umat beragama menjadi asset paling berharga yang sesungguhnya secara
natural ada sejak masa nenek moyang kita dahulu. Bagaimana nusantara ini mampu
bersatu dan silih bergantinya periode kejayaan kerajaan dari masa kemasa,
adalah bukti sejarah tak terbantahkan yang menjelaskan seberapa besar jiwa
bangsa ini.
Toleransi, Rakyat
Indonesia Ahlinya
Ilustrasi pecah belah ulama Indonesia |
Jangan ajari rakyat Indonesia lagi tentang toleransi dan kerukunan. Kejayaan kerajaan Sriwijaya dan Majapahit yang disusul dengan masuknya agama islam secara damai hingga memuncak dengan tumbuhnya kerajaan-kerajaan besar islam macam Demak, dan mataram islam menjadi fakta sejarah yang membuktikan betapa bangsa ini tidak memahami kata toleransi dari sebuah pidato seorang menteri, seminar-seminar atau bahkan himbauan-himbauan. Bangsa ini besar dengan sendirinya dibersamai sejarah yang mengakar dan perjuangan bersama merebut kemerdekaan, sehingga benih toleransi sudah mereka pahami tidak lagi dalam tataran teori tapi praktik sehari-hari.
Lalu hari ini tengah tumbuh sebuah situasi dimana pemerintah
menganggap bahwa toleransi bangsa sedang bermasalah. Indikator yang digunakan
adalah maraknya aksi terror bom yang menyasar rumah-rumah ibadah. Ditambah
beberapa insiden – insiden antar personal yang seharusnya tidak dijadikan
sebagai sebuah landasan untuk membuat cap
merah pada rakyatnya sendiri.
Siapa Biang Keroknya?
Kalau kita semua harus jujur, mari telaah siapa sebenarnya
yang menyebarkan propaganda-propaganda tentang adanya perpecahan, ketidakharmonisan
sosial dan anti kebhinekaan? Mari jawab dengan jujur bahwa pemerintah dengan
segala perangkatnyalah yang membuat virus paranoid itu. Benarlah ungkapan dari
Prof. Rocky Gerung bahwa pemerintah punya semua perangkat untuk membuat hoax
yang berpotensi menimbulkan dampak-dampak sosial yang negatif.
Belum lagi jika kita tarik mundur isu-isu panas yang sempat
menguap kepermukaan pada beberapa tahun yang lalu tentang LGBT misalnya; Sikap yang ditunjukkan oleh kementrian agama
jauh dari yang di ekspektasikan oleh masyarakat, tidak tegas bahkan cenderung
‘sengaja’ abai terhadap permasalahan ini.
Sebuah tanggapan keras dari ketua MUI
pada agustus 2016 lalu atas sikap menteri agama RI yang hadir dalam acara yang
didalamnya ada pemberian penghargaan untuk LGBT. Mengutip berita Republika.co.id,
Rabu (31/8), KH Tengku Zulkarnain selaku Wakil Sekjen Majelis Ulama
Indonesia (MUI) memprotes secara lugas agenda dari Menteri Agama, “ Sebagai
menteri agama, apalagi beliau itu Muslim, tidak cukup minta maaf saja. Selain
minta maaf kepada rakyat Indonesia, beliau juga wajib taubat”.
Kecaman – kecaman atas sikap kontraproduktif itu
nampaknya tak pernah dijadikan bahan
evaluasi bagi kementrian agama untuk lebih bijak lagi dalam menjalankan
perannya. MUI sebagai representatif dari umat muslim Indonesia telah melakukan
kewajibannya dalam mengingatkan pemimpin ketika pemimpin berbuat salah,
nyatanya nasihat dan masukan-masukan tersebut tak dijadikan bahan evaluasi sama
sekali.
Pemersatu atau
Pengadudomba?
Yang terbaru, bagaimana begitu viral diberbagai media
mengenai rilis nama-nama mubaligh yang dikeluarkan oleh kementrian agama. Banyak kalangan mempertanyakan motif dan
tujuan dari kebijakan kementrian agama ini.
Opini publik semakin tidak terkontrol
dengan banyaknya keganjilan dari
diterbitkannya nama-nama penceramah plat
merah itu. Dari mulai dimasukkanya nama ustadz yang sudah wafat sampai
kontroversi tidak adanya nama-nama ustadz kondang yang banyak digandrungi oleh
masyarakat Indonesia seperti ustadz Abdullah Gymnastiar, Ustadz Abdul Somad dan
Ustadz Bachtiar Nasir.
Ditengah semua polemik ini, masih menjadi tanda tanya besar
apa tujuan dari kemenag untuk mengeluarkan nama-nama tersebut? Sekali lagi mari
kita camkan kembali peran yang seharusnya dijalankan oleh kementrian agama,
yaitu menjadi nahkoda pemersatu antar agama yang ada di Indonesia bahkan antar
golongan dan antar pemuka agama itu sendiri termasuk para ulama dan
ustadz-ustadz didalamnya.
Dengan keluarnya nama-nama rekomendasi mubaligh tersebut
seharusnya sekelas kementrian negara mampu menimbang resiko dan tingkat
penerimaan masyarakat terhadap output kebijakan
yang dikeluarkan. Keributan dan protes dari masyarakat atas keluarnya nama-nama
mubaligh rekomendasi tersebut jelas sudah terprediksi oleh tim ahli dan tim
analisis yang dimiliki oleh kementrian agama itu sendiri. Lalu, sekali lagi apa
tujuan dari kementrian agama menelurkan kebijakan-demi kebijakan yang dianggap
‘sengaja’ memancing diair keruh?
Runtuhnya legitimasi
Sudah menjadi semacam sunatullah
jika ada seorang pemimpin yang integritasnya ditanggalkan dihadapan para
anggotanya, maka hancurlah izzah dan
legitimasi dari pemimpin itu sendiri. Kementrian Agama merupakan lembaga yang
paling dihargai, dihormati dan menjadi rujukan masyarakat banyak seluruh
Indonesia dalam bidang-bidang yang bersentuhan dengan masalah keagamaan.
Apa jadinya jika masyarakat sudah tidak percaya lagi dengan
lembaga ini, tentu segala kebijakan himbauan dan arahan dari kemenag hanya
pepesan kosong belaka yang tak akan dihiraukan lagi oleh masyarakat.
Gejala-gejala unrespect itu sudah
mulai ditunjukan oleh ratusan masyarakat pengguna media sosial. Keluarnya
nama-nama mubaligh rekomendasi versi netizen
adalah bentuk ‘pembangkangan’ ringan rakyat mayoritas.
Kabar baiknya kegelisahan atas ‘kelakuan’ dan kebijakan
kontroversial dari kementrian agama ini dirasakan dan sikapi juga oleh para
wakil rakyat kita. Sodik Mujahid,salah seorang legislator bahkan menyinggung
gerakan ganti menteri agama jika kebijakan ini tidak segera dihentikan. “Stop
saja. Dikurangi atau ditambah tidak menyelesaikan masalah. Jangan sampai ada
yang minta ganti Menteri Agama,” dikutip dari poskotanews.com pada Kamis
(24/5).
Jika mengutip dari hukum newton III tentang sebandingnya
aksi dan reaksi, kita tentu memahami bahwa semua reaksi kegaduhan dari
masyarakat banyak ini karena adanya aksi yang salah dari pengambil kebijakan,
dalam hal ini adalah kementrian agama. Kedamaian dan keharmonisan umat beragama
di Indonesia belum pernah serapuh seperti pada pemerintahan Jokowi-JK ini.
Bahkan diera pemerintahan ini perpecahan bukan hanya terjadi antar golongan,
tapi sudah merambah pada konflik internal satu agama tertentu. Pertanyaanya ,
peran apakah yang coba dijalankan oleh kementrian agama khususnya dan
pemerintah umumnya. Pemersatu, atau pemecah belah bangsa?
Bayu
Apriliawan (087796431152)
0 komentar:
Post a Comment