Thursday 31 May 2018

Rilis Nama Ulama Plat Merah, dan Puncak Runtuhnya Legitimasi Kementrian Agama


" Kementrian agama untuk kesekian kalinya membuat blunder dengan kebijakan-kebijakanya yang dinilai kurang bijak. Domain keagamaan yang melekat menjadi sebuah penanda bahwa kerukunan, persatuan dan keberagaman menjadi  domain dan tanggung jawab dari kementrian ini" 

Indonesia adalah negara percontohan dalam menyikapi keberagaman yang menjdi takdir tak terelakkan bagi negeri ini. Kedewasaan masyarakat dinegeri ini yang mengedepankan toleransi dan welas asih antar sesama umat beragama menjadi asset paling berharga yang sesungguhnya secara natural ada sejak masa nenek moyang kita dahulu. Bagaimana nusantara ini mampu bersatu dan silih bergantinya periode kejayaan kerajaan dari masa kemasa, adalah bukti sejarah tak terbantahkan yang menjelaskan seberapa besar jiwa bangsa ini.

Toleransi, Rakyat Indonesia Ahlinya

Ilustrasi pecah belah ulama Indonesia

Jangan ajari rakyat Indonesia lagi tentang toleransi dan kerukunan. Kejayaan kerajaan Sriwijaya dan Majapahit yang disusul dengan masuknya agama islam secara damai hingga memuncak dengan tumbuhnya kerajaan-kerajaan besar islam macam Demak, dan mataram islam menjadi fakta sejarah yang membuktikan betapa bangsa ini tidak memahami kata toleransi dari sebuah pidato seorang menteri, seminar-seminar atau bahkan himbauan-himbauan. Bangsa ini besar dengan sendirinya dibersamai sejarah yang mengakar dan perjuangan bersama merebut kemerdekaan, sehingga benih toleransi sudah mereka pahami tidak lagi dalam tataran teori tapi praktik sehari-hari.

Lalu hari ini tengah tumbuh sebuah situasi dimana pemerintah menganggap bahwa toleransi bangsa sedang bermasalah. Indikator yang digunakan adalah maraknya aksi terror bom yang menyasar rumah-rumah ibadah. Ditambah beberapa insiden – insiden antar personal yang seharusnya tidak dijadikan sebagai sebuah landasan untuk membuat cap merah  pada rakyatnya sendiri.

Siapa Biang Keroknya?
Kalau kita semua harus jujur, mari telaah siapa sebenarnya yang menyebarkan propaganda-propaganda tentang adanya perpecahan, ketidakharmonisan sosial dan anti kebhinekaan? Mari jawab dengan jujur bahwa pemerintah dengan segala perangkatnyalah yang membuat virus paranoid itu. Benarlah ungkapan dari Prof. Rocky Gerung bahwa pemerintah punya semua perangkat untuk membuat hoax yang berpotensi menimbulkan dampak-dampak sosial yang negatif.

Belum lagi jika kita tarik mundur isu-isu panas yang sempat menguap kepermukaan pada beberapa tahun yang lalu tentang LGBT misalnya;  Sikap yang ditunjukkan oleh kementrian agama jauh dari yang di ekspektasikan oleh masyarakat, tidak tegas bahkan cenderung ‘sengaja’ abai terhadap permasalahan ini. 

Sebuah tanggapan keras dari ketua MUI pada agustus 2016 lalu atas sikap menteri agama RI yang hadir dalam acara yang didalamnya ada pemberian penghargaan untuk LGBT. Mengutip berita Republika.co.id, Rabu (31/8), KH Tengku Zulkarnain selaku Wakil Sekjen Majelis Ulama Indonesia (MUI) memprotes secara lugas agenda dari Menteri Agama, “ Sebagai menteri agama, apalagi beliau itu Muslim, tidak cukup minta maaf saja. Selain minta maaf kepada rakyat Indonesia, beliau juga wajib taubat”.

Kecaman – kecaman atas sikap kontraproduktif itu nampaknya  tak pernah dijadikan bahan evaluasi bagi kementrian agama untuk lebih bijak lagi dalam menjalankan perannya. MUI sebagai representatif dari umat muslim Indonesia telah melakukan kewajibannya dalam mengingatkan pemimpin ketika pemimpin berbuat salah, nyatanya nasihat dan masukan-masukan tersebut tak dijadikan bahan evaluasi sama sekali.

Pemersatu atau Pengadudomba?
Yang terbaru, bagaimana begitu viral diberbagai media mengenai rilis nama-nama mubaligh yang dikeluarkan oleh kementrian agama.  Banyak kalangan mempertanyakan motif dan tujuan dari kebijakan kementrian agama ini.

Opini  publik semakin tidak terkontrol dengan  banyaknya keganjilan dari diterbitkannya nama-nama penceramah plat merah itu. Dari mulai dimasukkanya nama ustadz yang sudah wafat sampai kontroversi tidak adanya nama-nama ustadz kondang yang banyak digandrungi oleh masyarakat Indonesia seperti ustadz Abdullah Gymnastiar, Ustadz Abdul Somad dan Ustadz Bachtiar Nasir.

Ditengah semua polemik ini, masih menjadi tanda tanya besar apa tujuan dari kemenag untuk mengeluarkan nama-nama tersebut? Sekali lagi mari kita camkan kembali peran yang seharusnya dijalankan oleh kementrian agama, yaitu menjadi nahkoda pemersatu antar agama yang ada di Indonesia bahkan antar golongan dan antar pemuka agama itu sendiri termasuk para ulama dan ustadz-ustadz didalamnya.

Dengan keluarnya nama-nama rekomendasi mubaligh tersebut seharusnya sekelas kementrian negara mampu menimbang resiko dan tingkat penerimaan masyarakat terhadap output kebijakan yang dikeluarkan. Keributan dan protes dari masyarakat atas keluarnya nama-nama mubaligh rekomendasi tersebut jelas sudah terprediksi oleh tim ahli dan tim analisis yang dimiliki oleh kementrian agama itu sendiri. Lalu, sekali lagi apa tujuan dari kementrian agama menelurkan kebijakan-demi kebijakan yang dianggap ‘sengaja’ memancing diair keruh?

Runtuhnya legitimasi
Sudah menjadi semacam sunatullah jika ada seorang pemimpin yang integritasnya ditanggalkan dihadapan para anggotanya, maka hancurlah izzah dan legitimasi dari pemimpin itu sendiri. Kementrian Agama merupakan lembaga yang paling dihargai, dihormati dan menjadi rujukan masyarakat banyak seluruh Indonesia dalam bidang-bidang yang bersentuhan dengan masalah keagamaan.

Apa jadinya jika masyarakat sudah tidak percaya lagi dengan lembaga ini, tentu segala kebijakan himbauan dan arahan dari kemenag hanya pepesan kosong belaka yang tak akan dihiraukan lagi oleh masyarakat. Gejala-gejala unrespect itu sudah mulai ditunjukan oleh ratusan masyarakat pengguna media sosial. Keluarnya nama-nama mubaligh rekomendasi versi netizen adalah bentuk ‘pembangkangan’ ringan rakyat mayoritas.

Kabar baiknya kegelisahan atas ‘kelakuan’ dan kebijakan kontroversial dari kementrian agama ini dirasakan dan sikapi juga oleh para wakil rakyat kita. Sodik Mujahid,salah seorang legislator bahkan menyinggung gerakan ganti menteri agama jika kebijakan ini tidak segera dihentikan. “Stop saja. Dikurangi atau ditambah tidak menyelesaikan masalah. Jangan sampai ada yang minta ganti Menteri Agama,” dikutip dari poskotanews.com  pada Kamis (24/5).

Jika mengutip dari hukum newton III tentang sebandingnya aksi dan reaksi, kita tentu memahami bahwa semua reaksi kegaduhan dari masyarakat banyak ini karena adanya aksi yang salah dari pengambil kebijakan, dalam hal ini adalah kementrian agama. Kedamaian dan keharmonisan umat beragama di Indonesia belum pernah serapuh seperti pada pemerintahan Jokowi-JK ini. 

Bahkan diera pemerintahan ini perpecahan bukan hanya terjadi antar golongan, tapi sudah merambah pada konflik internal satu agama tertentu. Pertanyaanya , peran apakah yang coba dijalankan oleh kementrian agama khususnya dan pemerintah umumnya. Pemersatu, atau pemecah belah bangsa?

Bayu Apriliawan (087796431152)

Share:

0 komentar:

Post a Comment