Indralaya,2045
Topan belum lama memandangi jam
tangan sembari membaca koran diruang tamu rumah dinas barunya. Segelas coklat
hangat buatan sang istri, telah habis separuhnya, ia telah lama menanti hari
ini. Ya menanti hari pertamanya masuk kerja di Indralaya, sebuah kota kecil
yang puluhan tahun lalu menyimpan kenangan manis semasa ia kuliah. Kini Indralaya
bukan lagi kota kecil yang ia kenal dahulu. Bahkan Kampus nya kini telah
membuka cabang kampus dilubuk linggau, pagar alam dan pangkalan balai, tidak
seperti dulu hanya ada dipalembang dan Indralaya saja.
Untuk pertama kalinya harus
menginjakan kaki ditempat yang sama namun dengan status yang berbeda. Pak dosen,
begitulah mahasiswa disini akan memanggilnya, tak pernah terbesit akan bisa
pulang kembali ke kampus kuning ini. Hidupnya yang penuh likuan, menjalani
S1-S2 nya dengan cukup terseok-seok dan happy endingnya berhasil menyelesaikan S3
nya sembari mengajar di salah satu perguruan tinggi Swasta dijakarta. Hari itu akan
tiba juga, Setelah 19 tahun menjalani
hari-hari di Ibu kota yang kata orang lebih kejam dari Ibu tiri itu, Akhirnya
rasa rindu akan tanah kelahiranlah yang membawanya untuk pulang. Bak gayung bersambut, lamaran untuk
mengajar disalah satu Universitas Top disumatera selatan pun berbuah manis.
Inderalaya telah banyak berubah,
28 tahun yang lalu kota kecil ini masih belum dikenal seperti sekarang. Debu-debu
jalanan masih bertebaran ditepian , diiringi antrian truk batu bara yang
menunggu giliranya untuk melintas, berdesakan dengan bus mahasiswa dan para
penduduk lokal yang lalu-lalang menembusi jalanan penuh lobang itu. Dengan bergandengan
tangan keluarga kecil bahagia itu menapaki trotoar
khusus pejalan kaki dengan
taman-taman mini ditepianya. “dulu ini adalah kumpulan kios pedagang buah loh
dek” seru Topan pada anak-nya sambil menunjuk taman-taman ditepian jalan.
Satu-satunya yang tidak berubah dari kota kecil ini adalah patung timbangan,
yang hanya mengalami sedikit modofikasi saja, pedang yang dipegang sang
pahlawan, dirubah menjadi pisau kecil yang tumpul. Entahlah nampaknya agar
pahlawan ditugu itu tidak berani mengusir sekawanan Asing yang ‘menjajah’ Negri
ini.
Dulu, didepan kampus masih penuh
ruko-ruko dan fotocopyan yang setiap harinya memanen rejeki dari
mahasiswa-mahasiswa yang riuh bejubel untuk
menukarkan rupiah-rupiahnya dengan kertas putih bergoreskan tinta hitam itu. Sekarang
Topan berdiri dengan penuh takjub, seolah tak percaya bahwa Ruko-ruko itu telah
banyak berubah menjadi resto-resto makanan korea dan jepang. Kemana perginya
pedagang seblak yang biasa mangkal didepan indoma*ret itu ya batin-nya.
Tak ada lagi semak belukar dan tanah
kosong sedikitpun disepanjang jalan Inderalaya sekarang. Dari jakarta dan
sewaktu menempuh S3 di Malaysia,Topan selalu mengikuti perkembangan
berita-berita di sumatra selatan. Sejak tahun 2019 lalu palembang menjadi kota
yang semakin penuh sesak saja dari hari keharinya. Efek pembangunan LRT (yang
membuat palembang menjadi kota terkeren di Indonesia saat itu) dan padatnya event-event internasional yang
diselenggarakan di palembang membuat nilai jual Kota pempek ini semakin
meningkat, dan saat ini palembang tidak mampu lagi menampung penduduk-pnduduk datangan yang berbondong-bondong singgah.
Terlebih serbuan WNA dari cina yang menjadikan palembang tujuan kedua setelah
jakarta untuk menetap semakin mengancam saja keberlangsungan kehidupan berdikari
dan berditari(berdiri di Tanah sendiri) dinegeri ini.
Keadaan yang seperti itu, membuat
pemerintah provinsi sumatera selatan memutuskan untuk mengembangkan kota
metropolitan baru diluar palembang. Indralaya dipilih dengan berbagai
pertimbangan, tentunya ada hubunganya dengan akses dan jarak tempuh dari pusat
ibu kota. Benar saja, Topan mengamati perkembangan pembangunan indralaya sangat
cepat lajunya, secepat datangnya cinta pada pandangan pertama, Eh. Dalam jangka
tiga tahun saja LRT sudah rampung dibangun dengan rute palembang – indralaya.
Tak heran para mahasiswa sekarang jarang yang datang telat ngampusnya, kecuali
mahasiswa yang emang males kuadrat.
Hari pertama ngampus, ada semacam
acara penyambutan di Fakultas tmpat Topan mengajar. Rasa-rasanya Topan tidak
asing lagi dengan para dosen-dosen senior yang hadir dalam acara tersebut.
Fakultas ini termasuk fakultas termuda , berdiri setelah Topan lulus, tepatnya
ditahun 2020 atau 25 tahun yang lalu. Dulu letaknya dibelakang Fakultas
pertanian, sekarang FTP telah memindahkan kompleks gedungnya ke bangunan baru
dibagian depan Kampus. Maklum, sebagai Fakultas termuda, bangunan gedung FTP
didesign dengan model terbaru ala-ala eropa, itulah mengapa FTP saat ini
menjadi icon Universitas.
Hari pertama mengajar, tak ada
yang aneh dan heboh. Pengalaman 19 tahun mengajar sebagai dosen membuat Topan
tak canggung lagi untuk berimprovisasi didepan
khalayak muda, memadukan pengetahuan dan kemampuan stand up comedy nya membuatnya tak lama menjadi sosok dosen yang
difavoritkan. Hari – hari yang sibuk mulai Topan jalani dengan beberapa
pekerjaan tambahan yang datang, layaknya seorang dosen, project-project pengembangan keilmuan dan pengabdian mulai
lalu-lalang mampir dimeja kerja,kamar tidur, dan dfikiranya. But, it’s okay,
Topan mensyukurinya, memang secara gaji/pendapatanya lebih besar ketika mengajar
di PTS-Jakarta Tapi , Untungnya sang istri tak mempermasalahkan itu (eits
jangan baper) toh diusianya sekarang, Materi bukan lagi masalah bagi Topan’s
Family.
Lusa adalah, Reuni mahasiswa
Angkatan 2013 Jurusan Topan,Reuni ke yang ke 14 (reuni angakatan mereka hanya
dua tahun sekali) bersiap-siap mendapat kejutan sudah jadi apa saja temen-temen
sekelasnya dulu Jdan
sudah berapa anak-anak mereka, bukan prestise
dan gengsinya. Tapi soal bagaimana mendapati teman lama yang akan ber’cawa’
kembali.
Bersambung….
***
This comment has been removed by a blog administrator.
ReplyDeleteamin, hanya sebuah cerita fiksi futuristik
ReplyDeleteWahh majuuu
ReplyDelete