Sunday, 22 January 2017

Indralaya.2045

Indralaya,2045


***
Topan belum lama memandangi jam tangan sembari membaca koran diruang tamu rumah dinas barunya. Segelas coklat hangat buatan sang istri, telah habis separuhnya, ia telah lama menanti hari ini. Ya menanti hari pertamanya masuk kerja di Indralaya, sebuah kota kecil yang puluhan tahun lalu menyimpan kenangan manis semasa ia kuliah. Kini Indralaya bukan lagi kota kecil yang ia kenal dahulu. Bahkan Kampus nya kini telah membuka cabang kampus dilubuk linggau, pagar alam dan pangkalan balai, tidak seperti dulu hanya ada dipalembang dan Indralaya saja.


Untuk pertama kalinya harus menginjakan kaki ditempat yang sama namun dengan status yang berbeda. Pak dosen, begitulah mahasiswa disini akan memanggilnya, tak pernah terbesit akan bisa pulang kembali ke kampus kuning ini. Hidupnya yang penuh likuan, menjalani S1-S2 nya dengan cukup terseok-seok dan  happy endingnya berhasil menyelesaikan S3 nya sembari mengajar di salah satu perguruan tinggi Swasta dijakarta. Hari itu akan tiba juga, Setelah 19 tahun  menjalani hari-hari di Ibu kota yang kata orang lebih kejam dari Ibu tiri itu, Akhirnya rasa rindu akan tanah kelahiranlah yang membawanya untuk pulang. Bak gayung bersambut, lamaran untuk mengajar disalah satu Universitas Top disumatera selatan pun berbuah manis.

Inderalaya telah banyak berubah, 28 tahun yang lalu kota kecil ini masih belum dikenal seperti sekarang. Debu-debu jalanan masih bertebaran ditepian , diiringi antrian truk batu bara yang menunggu giliranya untuk melintas, berdesakan dengan bus mahasiswa dan para penduduk lokal yang lalu-lalang menembusi jalanan penuh lobang itu. Dengan bergandengan tangan keluarga kecil bahagia itu menapaki trotoar  khusus pejalan kaki dengan taman-taman mini ditepianya. “dulu ini adalah kumpulan kios pedagang buah loh dek” seru Topan pada anak-nya sambil menunjuk taman-taman ditepian jalan. Satu-satunya yang tidak berubah dari kota kecil ini adalah patung timbangan, yang hanya mengalami sedikit modofikasi saja, pedang yang dipegang sang pahlawan, dirubah menjadi pisau kecil yang tumpul. Entahlah nampaknya agar pahlawan ditugu itu tidak berani mengusir sekawanan Asing yang ‘menjajah’ Negri ini.

Dulu, didepan kampus masih penuh ruko-ruko dan fotocopyan yang setiap harinya memanen rejeki dari mahasiswa-mahasiswa yang riuh bejubel untuk menukarkan rupiah-rupiahnya dengan kertas putih bergoreskan tinta hitam itu. Sekarang Topan berdiri dengan penuh takjub, seolah tak percaya bahwa Ruko-ruko itu telah banyak berubah menjadi resto-resto makanan korea dan jepang. Kemana perginya pedagang seblak yang biasa mangkal didepan indoma*ret itu ya batin-nya.

Tak ada lagi semak belukar dan tanah kosong sedikitpun disepanjang jalan Inderalaya sekarang. Dari jakarta dan sewaktu menempuh S3 di Malaysia,Topan selalu mengikuti perkembangan berita-berita di sumatra selatan. Sejak tahun 2019 lalu palembang menjadi kota yang semakin penuh sesak saja dari hari keharinya. Efek pembangunan LRT (yang membuat palembang menjadi kota terkeren di Indonesia saat itu) dan padatnya event-event internasional yang diselenggarakan di palembang membuat nilai jual Kota pempek ini semakin meningkat, dan saat ini palembang tidak mampu lagi menampung penduduk-pnduduk datangan yang berbondong-bondong singgah. Terlebih serbuan WNA dari cina yang menjadikan palembang tujuan kedua setelah jakarta untuk menetap semakin mengancam saja keberlangsungan kehidupan berdikari dan berditari(berdiri di Tanah sendiri) dinegeri ini.

Keadaan yang seperti itu, membuat pemerintah provinsi sumatera selatan memutuskan untuk mengembangkan kota metropolitan baru diluar palembang. Indralaya dipilih dengan berbagai pertimbangan, tentunya ada hubunganya dengan akses dan jarak tempuh dari pusat ibu kota. Benar saja, Topan mengamati perkembangan pembangunan indralaya sangat cepat lajunya, secepat datangnya cinta pada pandangan pertama, Eh. Dalam jangka tiga tahun saja LRT sudah rampung dibangun dengan rute palembang – indralaya. Tak heran para mahasiswa sekarang jarang yang datang telat ngampusnya, kecuali mahasiswa yang emang males kuadrat.

Hari pertama ngampus, ada semacam acara penyambutan di Fakultas tmpat Topan mengajar. Rasa-rasanya Topan tidak asing lagi dengan para dosen-dosen senior yang hadir dalam acara tersebut. Fakultas ini termasuk fakultas termuda , berdiri setelah Topan lulus, tepatnya ditahun 2020 atau 25 tahun yang lalu. Dulu letaknya dibelakang Fakultas pertanian, sekarang FTP telah memindahkan kompleks gedungnya ke bangunan baru dibagian depan Kampus. Maklum, sebagai Fakultas termuda, bangunan gedung FTP didesign dengan model terbaru ala-ala eropa, itulah mengapa FTP saat ini menjadi icon Universitas.

Hari pertama mengajar, tak ada yang aneh dan heboh. Pengalaman 19 tahun mengajar sebagai dosen membuat Topan tak canggung lagi untuk berimprovisasi didepan khalayak muda, memadukan pengetahuan dan kemampuan stand up comedy nya membuatnya tak lama menjadi sosok dosen yang difavoritkan. Hari – hari yang sibuk mulai Topan jalani dengan beberapa pekerjaan tambahan yang datang, layaknya seorang dosen, project-project pengembangan keilmuan dan pengabdian mulai lalu-lalang mampir dimeja kerja,kamar tidur, dan dfikiranya. But, it’s okay, Topan mensyukurinya, memang secara gaji/pendapatanya lebih besar ketika mengajar di PTS-Jakarta Tapi , Untungnya sang istri tak mempermasalahkan itu (eits jangan baper) toh diusianya sekarang, Materi bukan lagi masalah bagi Topan’s Family.

Lusa adalah, Reuni mahasiswa Angkatan 2013 Jurusan Topan,Reuni ke yang ke 14 (reuni angakatan mereka hanya dua tahun sekali) bersiap-siap mendapat kejutan sudah jadi apa saja temen-temen sekelasnya dulu Jdan sudah berapa anak-anak mereka, bukan prestise dan gengsinya. Tapi soal bagaimana mendapati teman lama yang akan ber’cawa’ kembali.


Bersambung….
***
Share:

3 comments: