Sunday 23 August 2020

Fenomena Bu Tejo dan Realitas Netizen yang Maha Benar

Viralnya film dan atau potongan-potongan video Bu Tejo adalah sebuah sinyal persetujuan dari para viewer sendiri bahwa karakter Bu Tejo adalah karakter masyarakat kita, Bu Tejo adalah Kita! Begitu kira-kira kalau dibawakan dalam bentuk orasi. Hidup Bu Tejo!

Bagaimana pendapatmu tentang menyikapi setiap komentar orang lain terhadap hidup kita? Apakah itu sangat membantu untuk perbaikan dan evaluasi kehidupanmu atau justru sebaliknya menambah runyam dan membebani langkah maju yang lagi semangat-semangatnya?

Terlebih era media sosial dewasa ini menunjukan perkembangan pola komunikasi yang kurang baik antara satu orang dan orang lainya. Semua orang dapat dengan tiba-tiba muncul dikehidupan orang lain tanpa kenal, tanpa dekat, dan tanpa tau secara mendalam. Ujug - ujug  muncul aja dikolom komentar, heboh, menyudutkan, bullying,  menyalahkan dan menghakimi. Singkatnya menjadi yang merasa paling tau padahal tidak tau apa-apa.

Masih hangat diperedaran pemberitaan media massa mengenai kasus Adhisty Zara dengan video kontroversialnya yang beredar, ada andil yang begitu besar dari para netizen yang membuat beberapa produk kosmetic memutus kontrak si Doi karena hebohnya kasus ini loh.

Belum lagi tentang peran netizen yang hampir buat seorang Kekeyi bunuh diri karena berkali-kali menjadi korban bullying di media sosial maupun di kehidupan nyatanya. Buat yang ketinggalan beritanya nih ada linknya gaes  Link Berita Kekeyi

Disini posisi gue bukan sebagai pihak yang mendukung atau membenarkan segala tindakan dari artis-artis yang dibully diatas ya gaes. Posisi gue cuma sebagai pihak yang gak habis fikir aja bahwa begitu banyak berkembang populasi orang-orang yang begitu perduli dengan hidup orang lain.Tapi perdulinya bukan dengan memberikan bantuan sembako dan lain sebagainya.Melainkan untuk melakukan serangan verbal sebanyak mungkin pada sasaran.

Kombinasi antara kepo dan nyinyir seperti menjadi sebuah ‘watak’   khas netizen Indonesia. Ini sangat berbahaya loh gaes, pada berita link diatas, kekeyi hampir bunuh diri loh karena ulah netizen yang sok maha tau segalanya.

Yang menyedihkan adalah kecenderungan prilaku nyinyir dan kepo itu sudah mulai merebak dalam sendi-sendi kehidupan nyata. Meskipun sejarah pergunjingan telah ada sejak zaman sebelum masehi namun tingkatan dosisnya belum separah sekarang. Agaknya viralnya film Tilik / Bu Tejo (https://www.youtube.com/watch?v=GAyvgz8_zV8) bisa jadi gambaran kondisi terkini yang membenarkan sebuah ungkapan bahwa lisan lebih tajam dari pada pedang.

Kebiasaan nyinyir yang biasanya ada pada kaum ibu-ibu ternyata dapat digolongkan sebagai gangguan kejiwaan. Nah loh! Sumbernya dari health liputan6.com, bahwa  nyinyir bisa jadi merupakan salah satu sifat dari orang yang mengalami gangguan kejiwaan seperti gangguan kepribadian (personality disorder) atau bipolar (Link sumber berita)

Jadi Trending di Twitter, Terungkap Sosok Pemeran Bu Tejo di Film ...
Sosok Bu Tejo (Source : Tribunnews.com)

Viralnya film dan atau potongan-potongan video Bu Tejo adalah sebuah sinyal persetujuan dari para viewer sendiri bahwa karakter Bu Tejo adalah karakter masyarakat kita, Bu Tejo adalah Kita! Begitu kira-kira kalau dibawakan dalam bentuk orasi. Hidup Bu Tejo!

Kemudian , bagaimana seharusnya respon kita terhadap fenomena tersebut? Dalam sebuah perubahan setidaknya ada dua usaha yang bisa kita lakukan. Pertama adalah berusaha untuk tidak menjadi bagian dari golongan yang nyinyir tersebut. Atau agar mudah mengingatnya , jangan menjadi golongan bu Tejo.

Kedua , menyiapkan antibody jika posisi kita adalah sebagai korban ghibah atau korban bullying seperti kekeyi dalam lampiran kisah diatas.

Landasan teorinya adalah bahwa setiap perkataan orang lain terhadap diri kita apabila itu tidak mengandung pesan yang membangun makan tinggalkanlah. Singkatnya masa bodoh amatlah!

Mark Manson dalam bukunya yang berjudul The Subtle Art Of Not Giving F*ck yang sudah diterjemahkan dalam bahasan Indonesia dengan judul : Sebuah seni untuk bersikap Bodo amat, banyak menjelaskan tentang bagaimana sebaiknya kita merespon sesuatu yang negatif dengan sikap bodo amat.

“ Inilah mengapa, bersikap masa bodoh, adalah kuncinya. Inilah alasan mengapa itu menyelamatkan dunia. Dan kuncinya adalah jika kita bisa menerima bahwa dunia ini benar-benar keparat dan itu tidak apa-apa, karena memang seperti itu, dan akan seperti itu adanya. Dengan tidak ambil pusing ketika Anda merasa buruk, berarti Anda memutus Lingkarang Setan; Anda berkata pada diri sendiri, Saya merasa sangat buruk, tapi terus kenapa! Apa pedulimu? ” –halaman 9”

Ada sebuah cerita menarik yang mungkin anda pernah mebacanya, tapi mari kit abaca sekali lagi untuk mengambil sebuah pelajaran :

Pasa suatu masa, di sebuah negeri dikisahkan, ada dua orang anak beranak yang ingin pergi ke suatu pasar untuk menjual seekor keledai. keadaan Bapak, Anak, dan keledai itu serba tanggung. Bapak itu berumur agak lanjut, tetapi masih cukup kuat untuk berjalan. Si Anak sendiri juga tanggung, ia adalah remaja yang belum dapat di sebut dewasa, tetapi juga tidak dapat lagi dikatakan anak-anak. Sementara si keledai, adalah keledai yang sehat kuat tetapi badannya beukuran agak kecil.

Pagi-pagi, berangkatlah mereka menuju pasar yang letaknya agak jauh dan harus ditempuh dalam perjalanan setengah hari. Bapak dan Anak, dengan membawa bekal makanan yang cukup untuk diperjalanan segera naik ke punggung keledai. Mereka menaiki keledai itu selama beberapa jam, hingga akhirnya tiba di sebuah kampung dengan kerumunan orang-orang. Demi melihat seekor keledai kecil dinaiki oleh Bapak dan Anak itu, berbisik-bisiklah orang-orang itu. Kemudian salah satu dari mereka berbicara.

“Hai, betapa malangnya nasib keledai kecil itu. Ia harus menanggung beban dua orang anak-beranak seperti kalian. Tidakkah kalian berpikir bahwa keledai itu bisa saja menjadi sangat menderita selama dalam perjalanan kalian?”

Setelah mendengar kata-kata orang kampung itu, akhirnya Si Bapak turun dari punggung keledai. Mereka kemudian meneruskan perjalanan menuju pasar dengan Si Bapak berjalan di samping keledai yang ditunggangi Si Anak. Mereka kembali berjalan menyusuri jalan-jalan yang sepi hingga kemudian mereka tiba lagi di sebuah kampung yang berbeda.

Di kampung ini, mereka juga berpapasan dengan sekumpulan orang-orang yang berbisik-bisik. Si Bapak dan anaknya sadar, bahwa orang-orang kampung itu sedang berbisik-bisik membicarakan mereka. Lalu karena penasaran, bertanyalah Si Anak tentang apa sebenarnya yang membuat mereka berbisik-bisik. Lalu salah seorang dari kerumunan itu menjawab.

“Hai Anak Muda, lihatlah Bapakmu yang berjalan di sisi keledai itu. Tidaklah pantas kamu duduk di atas punggung keledai dengan santainya, sementara Bapakmu berjalan kaki di sampingmu. Di mana otakmu sehingga engkau sedemikian tega terhadap Bapakmu? Apakah kamu ingin menjadi anak yang tidak mempunyai rasa hormat dan kasih sayang kepada orang tua?”

Si Anak berpikir, lalu ia menyadari bahwa Bapaknya mungkin lebih pantas untuk duduk di atas keledai. Dialah yang seharusnya berjalan kaki.  Si Anak kemudian turun dari punggung keledai, dan ia meminta Si Bapak untuk naik. Mereka kemudian melanjutkan perjalanan menuju pasar. Si Anak kini berjalan bersisian dengan keledai.

Beberapa saat kemudian, tibalah mereka di sebuah kampung yang lainnya. Di sini mereka juga bertemu dengan sekelompok orang. Orang-orang itu saling berbisik-bisik sambil memandangi kepada Bapak, Anak, dan keledai itu. Karena rasa penasaran akan apa yang dibisik-bisikkan oleh orang-orang itu, Si Bapak kemudian bertanya.

“Wahai Saudara-Saudaraku, apakah gerangan yang kalian bisik-bisikkan? Adakah sesuatu yang salah dengan kami?”

Salah seorang dari penduduk kampung itu berkata.

“Di mana rasa sayangmu terhadap anak itu? Anda bertubuh kuat, mengapa anak anda disuruh berjalan? Sungguh kamu ayah yang keterlaluan.” Katanya dengan lantang, sementara orang-orang lainnya mengiyakan.

“Duhai Saudara-Saudaraku, tahukah kalian bahwa kami telah melewati beberapa kampung sebelumnya. Dan, tidak ada satu carapun yang kami lakukan dianggap tepat. Kami berterima kasih atas perhatian kalian kedapa kami.”

Setelah memohon diri untuk melanjutkan perjalanan, Si Anak segera naik ke punggung keledai bersama Si Bapak. Keduanya menyusuri jalan menuju pasar yang masih separuh jalan. Ketika keledai kelelahan, mereka berhenti di sebuah pinggir danau dengan pemandangan yang indah. Mereka membuka bekal makanan yang telah disiapkan dari rumah, sementara keledai kecil itu merumput dengan senangnya dan minum dari air danau dengan puasnya.

Message-nya adalah jangan telan semua kata-kata orang gaes, bener kata Mark Manson, kita harus kuasai itu seni untuk bersikap bodo amat. Harus begitu. Karena toh netizen tidak membiayai hidup kita kan. Sikap bodo amat disini bukan berarti anti kritik ya gaes, tapi lebih ke gimana kita menghidupkan filter yang baik dalam merespon setiap masukan. Kayaknya segini dulu deh ya nanti dilanjut lagi gaes, tulisan ini muncul karena adanya keresahan tentang pola kepoisme dan nyinyiersme dewasa ini yang sangat meresahkan.


23 Agustus 2020

@ Tiger Island

Share:

0 komentar:

Post a Comment